Bukit Kelu, Bukit Biru
Adalah hujan dalam kabut yang ungu
Turun sepanjang gunung
dan bukit biru
Ketika kota cahaya dan di mana bertemu
Awan putih yang
menghinggapi cemaraku
Adalah kemarau dalam sengangar berdebu
Adalah kemarau dalam sengangar berdebu
Turun sepanjang gunung dan bukit kelu
Ketika kota tak bicara dan terpaku
Gunung api dan hama di ladang-ladangku
Lereng-lereng senja
Lereng-lereng senja
Pernah menyinar merah kesumba
Padang hilalang dan bukit
membatu
Tanah airku.
Elegi buat Sebuah Perang Saudara
Dengan mata dingin dia turun ke medan
Di bahunya tegar tersilang hitam senapan
Dengan rasa ingin ditempuhnya perbukitan
Mengayun lengan kasar berbulu dendam
Angin pun bagai kampak sepanjang hutan
Bukit-bukit dipacu atas kuda kelabu
Dada dan lembah menyenak penuh deram
Di ujung gunung lawannya sudah menunggu
Terurai kendali kuda, merentak ringkiknya
Di bahunya tegar tersilang hitam senapan
Dengan rasa ingin ditempuhnya perbukitan
Mengayun lengan kasar berbulu dendam
Angin pun bagai kampak sepanjang hutan
Bukit-bukit dipacu atas kuda kelabu
Dada dan lembah menyenak penuh deram
Di ujung gunung lawannya sudah menunggu
Terurai kendali kuda, merentak ringkiknya
Di kaki langit teja mengantar malam
tembaga
Luluhlah senja dalam denyar.
Api mesiu
Di ujung gunung lawan rebah
telungkup bahu
Angin tak lagi menderu tapi desah tertahan
Dengan kaki sombong dibalikkannya lelaki itu
Ketika senja berayun malam di dahan-dahan
Angin pun menggigiti kulit bagai gergaji
Telentang kaku di bumi.
Angin tak lagi menderu tapi desah tertahan
Dengan kaki sombong dibalikkannya lelaki itu
Ketika senja berayun malam di dahan-dahan
Angin pun menggigiti kulit bagai gergaji
Telentang kaku di bumi.
Telah dibunuh adik sendiri.
Bilakah Kau Akan Melintas di Depan Ku
Kutunggu-tunggu kau melintas di depanku
Begitu benarkah
lamanya
Sangat ingin aku menegurmu dalam sapa
Tingkap angin makin ungu dalam
nestapa
Fajar pun yang tak kunjung teraih
Fajar pun yang tak kunjung teraih
Begitu benarkah sukarnya
Kemarauku menggigil
dalam nyala
Musim tempat berbagi yang perih
Tanganku inikah tangan dukana
Tanganku inikah tangan dukana
Menjulur-julur dan kemah berkibar badai
Suara
tanah yang hama sepanjang bencana
Warna papa tergapai, sapuan tak sampai-sampai
Kutunggu-tunggu kau melintas di depanku
Kutunggu-tunggu kau melintas di depanku
Begitu benarkah jarak zamannya
Sangat
ingin aku menyapamu dalam tegur
Dan kau balas dengan senyum menghibur.
Potret di Beranda
Di beranda rumah nenekku, di desa Baruh
Potretku telah
tergantung 26 tahun lamanya
Bersama gambar-gambar sulaman ibuku
Dibuatnya
tatkala masih perawan
Di dapur rumah nenekku, nenekku renta
Tergolek drum tua pemasak kerupuk kulit
Di atasnya sepasang tanduk hitam berdebu
Kerbau bajak kesayangan kakekku
Kerupuk kulit telah mengirim ibuku
Sekolah ke kota, jadi guru
Padi, lobak dan kentang ditanam kakekku
Yang disulap subur dalam hidayat
Dijunjung dan dipikul ke pasar
Dalam dingin dataran tinggi
Karena ibuku yang mau jadi guru
Dan ibuku bertemu ayahku
Yang dikirim nenekku ke surau menyabit ilmu
Dengan ikan kolam, bawang dan wortel
Di ujung cangkul kakekku kukuh
Yang kembang dan berisi dalam rahmat
Terbungkuk-bungkuk dijunjung di hari pekan
Karena ayahku mau jadi guru
Maka lahirlah kami berenam
Dalam rahman
Dalam kesayangan
Dalam kesukaran
Di beranda rumah nenekku, di desa Baruh
Potretku telah tergantung 26 tahun lamanya
Bersama gambar-gambar buatan ibuku
Disulamnya tatkala masih perawan.
Di dapur rumah nenekku, nenekku renta
Tergolek drum tua pemasak kerupuk kulit
Di atasnya sepasang tanduk hitam berdebu
Kerbau bajak kesayangan kakekku
Kerupuk kulit telah mengirim ibuku
Sekolah ke kota, jadi guru
Padi, lobak dan kentang ditanam kakekku
Yang disulap subur dalam hidayat
Dijunjung dan dipikul ke pasar
Dalam dingin dataran tinggi
Karena ibuku yang mau jadi guru
Dan ibuku bertemu ayahku
Yang dikirim nenekku ke surau menyabit ilmu
Dengan ikan kolam, bawang dan wortel
Di ujung cangkul kakekku kukuh
Yang kembang dan berisi dalam rahmat
Terbungkuk-bungkuk dijunjung di hari pekan
Karena ayahku mau jadi guru
Maka lahirlah kami berenam
Dalam rahman
Dalam kesayangan
Dalam kesukaran
Di beranda rumah nenekku, di desa Baruh
Potretku telah tergantung 26 tahun lamanya
Bersama gambar-gambar buatan ibuku
Disulamnya tatkala masih perawan.
Pekalongan Lima Sore
Kleneng bel beca
Debu aspal panggang
Sangar jalan pelabuhan
Terik kota pesisir
Tik-tik persneling Raleigh
Bungkus sarung palekat
Sungai kuning coklat
Nyanyi rumah yatim
Pejaja es lilin
Riuh Kampung Arab
Jembatan loji karatan
Genteng rumah pegadaian
Keringat pasar sepi
Kumis Raj Kapoor
Sengangar lilin batik
Deru pabrik tenun
Bal-balan Bong Cina
Harum tauto Tjarlam
Sirup kopyor dingin
Gorengan kuali tahu
Percikan minyak kelapa
Sisa bungkus megono
Panas teh melati
Tik-tok kuda dokar
Dengung DKW Hummel
Peluit sepur bomel
Klakson Debu Revolusi.
Debu aspal panggang
Sangar jalan pelabuhan
Terik kota pesisir
Tik-tik persneling Raleigh
Bungkus sarung palekat
Sungai kuning coklat
Nyanyi rumah yatim
Pejaja es lilin
Riuh Kampung Arab
Jembatan loji karatan
Genteng rumah pegadaian
Keringat pasar sepi
Kumis Raj Kapoor
Sengangar lilin batik
Deru pabrik tenun
Bal-balan Bong Cina
Harum tauto Tjarlam
Sirup kopyor dingin
Gorengan kuali tahu
Percikan minyak kelapa
Sisa bungkus megono
Panas teh melati
Tik-tok kuda dokar
Dengung DKW Hummel
Peluit sepur bomel
Klakson Debu Revolusi.
Dengan Puisi, Aku
Dengan puisi aku bernyanyi
Sampai senja umurku nanti
Dengan puisi aku bercinta
Berbatas cakrawala
Dengan puisi aku mengenang
Keabadian Yang Akan Datang
Dengan puisi aku menangis
Jarum waktu bila kejam mengiris
Dengan puisi aku mengutuk
Nafas zaman yang busuk
Dengan puisi aku berdoa
Perkenankanlah kiranya.
Sampai senja umurku nanti
Dengan puisi aku bercinta
Berbatas cakrawala
Dengan puisi aku mengenang
Keabadian Yang Akan Datang
Dengan puisi aku menangis
Jarum waktu bila kejam mengiris
Dengan puisi aku mengutuk
Nafas zaman yang busuk
Dengan puisi aku berdoa
Perkenankanlah kiranya.
Jam Kota
Pada ulang hari jadiku, kukitari kota kelahiranku
Setelah sebelas tahun tak menatap wajahmu
Hutan pinus pada bukit-bukit yang biru
Sekolah lama, gang-gang di pasar, pohon-pohon kenari
Di jauhan jam kota menjulang tinggi
Kotaku yang nanar sehabis perang
Wajah muram dan tubuh luka garang
Detak tapal kuda satu-satu
Wahai, pandanglah mukaku!
Bioskop tua.
Dindingnya pun retak-retak
Tempatku dulu takjub mengimpikan dunia luar
Jalan kecil sepanjang rel kereta-api.
Raung Beruang es di kebun binatang
Pedati kerbau merambatikota
pegunungan
Memutar roda kehidupan yang sarat
Di depan rumah sakit aku berhenti sebentar
Memandang dari luar dindingnya yang putih
Rahim ibuku, di suatu kamarnya, melepas daku
Ke dunia. Dan jam kota
Berdentang dini hari
Masih kulihat masjid itu, di tengah sawah
Beberapa surau lereng gunung, beratap seng merah
Gang-gang di pasar, amai-amai pedagang berselendang
Bernaung ratusan payung peneduh matahari
Dataran tinggi.
Susunan panci nasi Kapau Kerupuk Sanjai, ikan asin, onggokan lada merah
Toko kopiah sutera, toko-toko emas menutup pintunya
Anak-anak berkejaran di setasiun bus
Wahai, mengapa kalian menundukkan muka?
Kotaku yang nanar sehabis perang
Wajah muram dan tubuh luka garang
Detak tapal kuda satu-satu
Wahai, pandanglah mukaku!
Setelah sebelas tahun tak menatap wajahmu
Hutan pinus pada bukit-bukit yang biru
Sekolah lama, gang-gang di pasar, pohon-pohon kenari
Di jauhan jam kota menjulang tinggi
Kotaku yang nanar sehabis perang
Wajah muram dan tubuh luka garang
Detak tapal kuda satu-satu
Wahai, pandanglah mukaku!
Bioskop tua.
Dindingnya pun retak-retak
Tempatku dulu takjub mengimpikan dunia luar
Jalan kecil sepanjang rel kereta-api.
Raung Beruang es di kebun binatang
Pedati kerbau merambati
Memutar roda kehidupan yang sarat
Di depan rumah sakit aku berhenti sebentar
Memandang dari luar dindingnya yang putih
Rahim ibuku, di suatu kamarnya, melepas daku
Ke dunia. Dan jam kota
Berdentang dini hari
Masih kulihat masjid itu, di tengah sawah
Beberapa surau lereng gunung, beratap seng merah
Gang-gang di pasar, amai-amai pedagang berselendang
Bernaung ratusan payung peneduh matahari
Dataran tinggi.
Susunan panci nasi Kapau Kerupuk Sanjai, ikan asin, onggokan lada merah
Toko kopiah sutera, toko-toko emas menutup pintunya
Anak-anak berkejaran di setasiun bus
Wahai, mengapa kalian menundukkan muka?
Kotaku yang nanar sehabis perang
Wajah muram dan tubuh luka garang
Detak tapal kuda satu-satu
Wahai, pandanglah mukaku!
Oktober Hitam
(1)
Atap-atap gunung
Dan daratan
Meratap Ke mega gemulung
Mata yang duka
Menatap Sepanjang pagi murung
Angin yang nestapa
Berdesah Awan pun mendung
Di musim pengap
Yang gelisah
Menitiklah gerimis
Karena berjuta
Telah menangis
Tujuh lelaki
Telah mati
Pagi itu
(2)
Kaki kami lamban menyongsongmu,
Kenyataan
Begitu keras kau gedor-gedor pintu negeri kami
Yang terkantuk-kantuk dalam kefanaan panjang
Dan terendam mimpi demagogi
Cakar kekhianatan
Telah mencengkeram urat leher
Menebas jalan napas
(3)
Pohon-pohon cemara
Pohon asam
Pohon randu sepanjang jalan
Pohon pina di hutan-hutan
Pohon kamboja di pekuburan
Menundukkan
Daun-daunnya
Dan margasatwa
Kawanan unggas
Burung kepodang
Balam dan elang
Berbisik-bisik
Tiada henti
Menyebut namaMu
(4)
Darah Ade, anak perempuan mungil itu
Menetes sepanjang tongkat ayahnya
Yang bertelekan di kuburan
Menahan berat beban cobaan
Tapi tetap tegak bertahan
Sembilu telah mengiris langit
Menyayat-nyayat mega
Menurunkan gerimis
Semua berbisik
Tiada henti
Menyebut namaMu
Kami pun terjaga dalam
Oktober yang hitam
Bangkit dan kabut ilusi
Tahun-tahun meleleh, tangan ‘kan menegak keadilan
Dalam deram tak tertahan-tahan!
(5)
Awan pun jadi mendung
Di pagi musim yang pengap
Ketika arakan jenazah
Bergerak pelahan
Di atas kendaraan baja
Di bawah awan nestapa
Dipagar air mata
Kulihat pagi jadi mendung
Kulihat cuaca mengundang gerimis
Di negeri yang berkabung
Dalam duka mengiris
Fajar kelabu
Fajar kelam
Pagi pembunuhan
Pagi yang hitam
Tujuh lelaki
Telah mati
Dikhianati.
Atap-atap gunung
Dan daratan
Meratap Ke mega gemulung
Mata yang duka
Menatap Sepanjang pagi murung
Angin yang nestapa
Berdesah Awan pun mendung
Di musim pengap
Yang gelisah
Menitiklah gerimis
Karena berjuta
Telah menangis
Tujuh lelaki
Telah mati
Pagi itu
(2)
Kaki kami lamban menyongsongmu,
Kenyataan
Begitu keras kau gedor-gedor pintu negeri kami
Yang terkantuk-kantuk dalam kefanaan panjang
Dan terendam mimpi demagogi
Cakar kekhianatan
Telah mencengkeram urat leher
Menebas jalan napas
(3)
Pohon-pohon cemara
Pohon asam
Pohon randu sepanjang jalan
Pohon pina di hutan-hutan
Pohon kamboja di pekuburan
Menundukkan
Daun-daunnya
Dan margasatwa
Kawanan unggas
Burung kepodang
Balam dan elang
Berbisik-bisik
Tiada henti
Menyebut namaMu
(4)
Darah Ade, anak perempuan mungil itu
Menetes sepanjang tongkat ayahnya
Yang bertelekan di kuburan
Menahan berat beban cobaan
Tapi tetap tegak bertahan
Sembilu telah mengiris langit
Menyayat-nyayat mega
Menurunkan gerimis
Semua berbisik
Tiada henti
Menyebut namaMu
Kami pun terjaga dalam
Oktober yang hitam
Bangkit dan kabut ilusi
Tahun-tahun meleleh, tangan ‘kan menegak keadilan
Dalam deram tak tertahan-tahan!
(5)
Awan pun jadi mendung
Di pagi musim yang pengap
Ketika arakan jenazah
Bergerak pelahan
Di atas kendaraan baja
Di bawah awan nestapa
Dipagar air mata
Kulihat pagi jadi mendung
Kulihat cuaca mengundang gerimis
Di negeri yang berkabung
Dalam duka mengiris
Fajar kelabu
Fajar kelam
Pagi pembunuhan
Pagi yang hitam
Tujuh lelaki
Telah mati
Dikhianati.
Alamat Tak di Kenal
Setiap kami tuliskan pesan untukmu
Kami selalu bertanya-tanya
Adakah ia pernah kau terima
Hari ini koran pun memuat iklan-iklan dukacita
Seperti bulan yang lalu dalam bayang abu jelaga
Tahun depan begitu pula, siapa bisa tahu
Robekan penanggalan yang selalu bencana
Randu hutan tak lagi termangu, tapi gundul merunduk
Menahan beban musim sepanjang sejarah
Dan tanah kita adalah bumi semakin melapuk
Gunung api dan gelombang tak kenal istirah
Abjad kehidupan, terlalu keraskah untuk kaueja
Bila sepanjang gang dan di mana-mana orang pada antri
Menadah untuk kutuk apa lagi yang akan menimpa
Sebuah bisik makin tenggelam dalam riuh arena
Ranah mana lagi hilang dari muka bumi
Air bah berpacu mengatasi nyala gunung api
Sementara dunia berjamu dalam pesta ibukota
Beribu balon mengapung menuju mega
Setiap kali kami tuliskan pesan untukmu
Pada iklan duka kantor pekabaran itu juga
Kami bertanya-tanya selalu
Adakah ia pernah kauterima.
Kami selalu bertanya-tanya
Adakah ia pernah kau terima
Hari ini koran pun memuat iklan-iklan dukacita
Seperti bulan yang lalu dalam bayang abu jelaga
Tahun depan begitu pula, siapa bisa tahu
Robekan penanggalan yang selalu bencana
Randu hutan tak lagi termangu, tapi gundul merunduk
Menahan beban musim sepanjang sejarah
Dan tanah kita adalah bumi semakin melapuk
Gunung api dan gelombang tak kenal istirah
Abjad kehidupan, terlalu keraskah untuk kaueja
Bila sepanjang gang dan di mana-mana orang pada antri
Menadah untuk kutuk apa lagi yang akan menimpa
Sebuah bisik makin tenggelam dalam riuh arena
Ranah mana lagi hilang dari muka bumi
Air bah berpacu mengatasi nyala gunung api
Sementara dunia berjamu dalam pesta ibukota
Beribu balon mengapung menuju mega
Setiap kali kami tuliskan pesan untukmu
Pada iklan duka kantor pekabaran itu juga
Kami bertanya-tanya selalu
Adakah ia pernah kauterima.
Obsesi Garis Miring
Seekor makhluk melompat-lompat
Dari satu garis miring
Ke garis miring lainnya
Di atas rimba jaringan skema
Saat ini dia tergelincir
Dan meluncur tertahan-tahan
Ke bawah, kejurang
Tangannya menggapai-gapai.
Dari satu garis miring
Ke garis miring lainnya
Di atas rimba jaringan skema
Saat ini dia tergelincir
Dan meluncur tertahan-tahan
Ke bawah, kejurang
Tangannya menggapai-gapai.
Percakapan dengan Zaini
Rendra di muka kaca
Syahwil sedang meriasnya
Penyanyi berbagai serenada dalam warna
Sedang menatap diri sendiri dalam kaca
Penyair yang meluluhkan jasad dengan garang
Panggilan gong di pentas bertambah lantang
Seribu sajak meleburkan baitnya dalam gerak
Menggelepar manja.
Berbulu putih dengan sayap perak
Beterbangan dan hinggap dari dahan ke dahan
Dahan zaitun, dahan pohon utara dan selatan
Seribu gerak kembali lahir jadi puisi
Si pencari yang mendaki tangga zaman Yunani
Kuulurkan tangan padanya: mari kita ngembara
Ke mana saja.
Karena sajak ada di sepanjang benua
Penyanyi itu telah mengenakan jas birunya
Kali terakhir menatap dirinya pada kaca
Semakin lama kita ngembara dalam puisi
Mana tanganmu, siapa tak terbawa jauh sekali.
Syahwil sedang meriasnya
Penyanyi berbagai serenada dalam warna
Sedang menatap diri sendiri dalam kaca
Penyair yang meluluhkan jasad dengan garang
Panggilan gong di pentas bertambah lantang
Seribu sajak meleburkan baitnya dalam gerak
Menggelepar manja.
Berbulu putih dengan sayap perak
Beterbangan dan hinggap dari dahan ke dahan
Dahan zaitun, dahan pohon utara dan selatan
Seribu gerak kembali lahir jadi puisi
Si pencari yang mendaki tangga zaman Yunani
Kuulurkan tangan padanya: mari kita ngembara
Ke mana saja.
Karena sajak ada di sepanjang benua
Penyanyi itu telah mengenakan jas birunya
Kali terakhir menatap dirinya pada kaca
Semakin lama kita ngembara dalam puisi
Mana tanganmu, siapa tak terbawa jauh sekali.
Tjaikovski 1812
Dalam dada sesak
Kabut mengerang lalu tergelepar
Dan di sini kulihat Iwan
Ketika dia menunjukkan
Sebuah bulan bujur sangkar.
Kabut mengerang lalu tergelepar
Dan di sini kulihat Iwan
Ketika dia menunjukkan
Sebuah bulan bujur sangkar.
Dalam gerimis
Segugus kapuk randu
Melayang dalam hujan
Menyambung suara bumi berbisik.
Tertengadah
Pohon-pohon bungur berbunga ungu
Langit yang mekar dalam hujan pertama
Pohon bungur menyebarkan warna ungu
Sepanjang jalan raya
Angin yang mengetuk mendung.
Di ataskota menjelang gugus malam
Musim kemarau berbisa
Deretan sedih pohon jeungjing
Sepanjang tebing
Di langit nyaris lembayung.
Kawanan Kelelawar beterbangan ke tenggara
Kawat-kawat telepon berjajaran menghitami
Cakrawala yang retak warna
Kota dalam sayatan jingga
Kelelawar dan kapuk randu
Melayang dalam gerimis
Di atas rimba kotaku
Dahan gladiola telanjang dan menggigil
Memanjang padang yang gelisah
Dari selatan seakan ada yang memanggil
Ini hanya sementara, akan membentang
Musim lebih parah
Mendung mengucur pelahan
Dengan kaki-kaki ramping
Dan gerimis berlompatan
Di pipi sungai.
Sungai pedalaman yang jernih
Kijang-kijang istana berlarian
Berkerisik dalam pusingan dedaun coklat
Tangan yang mengacung ke langit
Dengan jari-jemari mengembang
Meninggi dalam bisa kemarau yang panjang
Sejarah berjalan terbungkuk, di padang ini
Menyalakan kemarau dan gunung api
Kemudian menuliskan namanya
Pada tangga waktu
Di langit sudah lembayung
Kapuk randu melayang dalam gerimis
Dan kelelawar bergayutan di puncak hutan
Jajaran jendela luka
Yang tertutup dan menanti
Suara memanggil.
Walau terhenti
Dalam menggigil
Kapuk randu bergugusan
Melayangi gerimis malam.
Melayang dalam hujan
Menyambung suara bumi berbisik.
Tertengadah
Pohon-pohon bungur berbunga ungu
Langit yang mekar dalam hujan pertama
Pohon bungur menyebarkan warna ungu
Sepanjang jalan raya
Angin yang mengetuk mendung.
Di atas
Musim kemarau berbisa
Deretan sedih pohon jeungjing
Sepanjang tebing
Di langit nyaris lembayung.
Kawanan Kelelawar beterbangan ke tenggara
Kawat-kawat telepon berjajaran menghitami
Cakrawala yang retak warna
Kota dalam sayatan jingga
Kelelawar dan kapuk randu
Melayang dalam gerimis
Di atas rimba kotaku
Dahan gladiola telanjang dan menggigil
Memanjang padang yang gelisah
Dari selatan seakan ada yang memanggil
Ini hanya sementara, akan membentang
Musim lebih parah
Mendung mengucur pelahan
Dengan kaki-kaki ramping
Dan gerimis berlompatan
Di pipi sungai.
Sungai pedalaman yang jernih
Kijang-kijang istana berlarian
Berkerisik dalam pusingan dedaun coklat
Tangan yang mengacung ke langit
Dengan jari-jemari mengembang
Meninggi dalam bisa kemarau yang panjang
Sejarah berjalan terbungkuk, di padang ini
Menyalakan kemarau dan gunung api
Kemudian menuliskan namanya
Pada tangga waktu
Di langit sudah lembayung
Kapuk randu melayang dalam gerimis
Dan kelelawar bergayutan di puncak hutan
Jajaran jendela luka
Yang tertutup dan menanti
Suara memanggil.
Walau terhenti
Dalam menggigil
Kapuk randu bergugusan
Melayangi gerimis malam.
Catatan Tahun 1965
Di lapangan dibakari buku
Mesin tikmu dibelenggu
Piringan hitam dipanggang
Buku-buku dilarang
Kita semua diperanjingkan
Gaya rabies klongsongan
Hamka diludahi Pram
Masuk penjara Sukabumi
Jassin dicaci diserapahi
Terbenam daftar hitam
Usmar dimaki Lentera
Takdir disumpahi Lekra Sudjono dicangkul BTI Nasakom bersatu apa
Umat dibunuhi di desa Kanigoro bagaimana lupa
Kus Bersaudara dipenjara
Mochtar masih diterungku
Osram bungkuk meringkuk Jalan aspal kubangan
Minyak tanah dikemanakan
Rebutan beras antrian
Siapa mati kelaparan
Inflasi saban pagi
Pidato tiap hari
Maki-maki sebagai gizi
Bahasa carut diperluaskan
Beatles gondrong dipersetankan
Pita suara dimatirasakan
Susunan syaraf dianastesi
Genjer-genjer jadi nyanyi
Tari perang dipamerkan
Warna merah dikibarkan
Warna hitam dikalbukan
Pawai garang digenderangkan
Kolone kelima disusupkan
Sarung siapa dilekatkan
Matine Gusti-Allah dipentaskan.
(Pawai HUT PKI, 23 Mei 1965)
Mesin tikmu dibelenggu
Piringan hitam dipanggang
Buku-buku dilarang
Kita semua diperanjingkan
Gaya rabies klongsongan
Hamka diludahi Pram
Masuk penjara Sukabumi
Jassin dicaci diserapahi
Terbenam daftar hitam
Usmar dimaki Lentera
Takdir disumpahi Lekra Sudjono dicangkul BTI Nasakom bersatu apa
Umat dibunuhi di desa Kanigoro bagaimana lupa
Kus Bersaudara dipenjara
Mochtar masih diterungku
Osram bungkuk meringkuk Jalan aspal kubangan
Minyak tanah dikemanakan
Rebutan beras antrian
Siapa mati kelaparan
Inflasi saban pagi
Pidato tiap hari
Maki-maki sebagai gizi
Bahasa carut diperluaskan
Beatles gondrong dipersetankan
Pita suara dimatirasakan
Susunan syaraf dianastesi
Genjer-genjer jadi nyanyi
Tari perang dipamerkan
Warna merah dikibarkan
Warna hitam dikalbukan
Pawai garang digenderangkan
Kolone kelima disusupkan
Sarung siapa dilekatkan
Matine Gusti-Allah dipentaskan.
(Pawai HUT PKI, 23 Mei 1965)
Almamater
Di depan gerbangmu tua pada hari ini
Kami menyilangkan tangan ke dada kiri
Tegak tengadah menatap bangunanmu
Genteng hitam dan dinding kusam.
Berlumut waktu
Untuk kali penghabisan
Marilah kita kenangkan tahun-tahun dahulu
Hari-hari kuliah di ruang fisika
Mengantuk pada pagi cericit burung gereja
Praktikum.Padang percobaan. Praktek daerah
Corong anastesi dan kilau skalpel di kamar bedah
Suara-suara menjalar sepanjang gang
Suara pasien yang pertama kali kujamah
Di aula ini, aula yang semakin kecil
Kita beragitasi, berpesta dan berkencan
Melupakan sengitnya ujian, tekanan gurubesar
Melepaskannya pada hari-hari perpeloncoan
Pada film dan musik yang murahan
Ya, kita sesekali butuh juga konser yang baik
Drama Sophocles, Chekov atau ‘Jas Panjang Pesanan’
Memperdebatkan politik, Tuhan dan para negarawan
Tentang filsafat, perempuan serta peperangan
Bayang benua abad dahulu lewat abad yang kini
Di manakah kau sekarang berdiri?
Di abad ini
Dan bersyukurlah karena lewat gerbangmu tua
Kau telah dilantik jadi warga Republik
Berpikir bebas
Setelah bertahun diuji kesetiaan dan keberanianmu
Dalam berpikir dan menyatakan kebebasan suara hati
Berpijak di tanah air nusantara
Dan menggarap tahun-tahun kemerdekaan
Dengan penuh kecintaan
Dan kami bersyukur pada Tuhan
Yang telah melebarkan gerbang tua ini
Dan kami bersyukur pada ibu bapa
Yang sepanjang malam
Selalu berdoa tulus dan terbungkuk membiayai kami
Dorongan kekasih sepenuh hati
Dan kami berhutang pada manusia
Yang telah menjadi guru-guru kami
Yang membayar pajak selama ini
Serta menjaga sepeda-sepeda kami
Pada hari ini di depan gerbangmu tua
Kami kenangkan cemara halamanmu dalam bau formalin
Mikroskop. Kamar obat. Perpustakaan
Gulungan layar di kampung nelayan
Nyanyi pohon-pohon perkebunan
Angin hijau di padang-padang peternakan
Deru kemarau di padang-padang penggembalaan
Dalam mimpi teknologi, kami kini dipanggil
Untuk menggarap tahun-tahun kemerdekaan
Dan mencintai manusianya
Mencintai kebebasannya.
Kami menyilangkan tangan ke dada kiri
Tegak tengadah menatap bangunanmu
Genteng hitam dan dinding kusam.
Berlumut waktu
Untuk kali penghabisan
Marilah kita kenangkan tahun-tahun dahulu
Hari-hari kuliah di ruang fisika
Mengantuk pada pagi cericit burung gereja
Praktikum.
Corong anastesi dan kilau skalpel di kamar bedah
Suara-suara menjalar sepanjang gang
Suara pasien yang pertama kali kujamah
Di aula ini, aula yang semakin kecil
Kita beragitasi, berpesta dan berkencan
Melupakan sengitnya ujian, tekanan gurubesar
Melepaskannya pada hari-hari perpeloncoan
Pada film dan musik yang murahan
Ya, kita sesekali butuh juga konser yang baik
Drama Sophocles, Chekov atau ‘Jas Panjang Pesanan’
Memperdebatkan politik, Tuhan dan para negarawan
Tentang filsafat, perempuan serta peperangan
Bayang benua abad dahulu lewat abad yang kini
Di manakah kau sekarang berdiri?
Di abad ini
Dan bersyukurlah karena lewat gerbangmu tua
Kau telah dilantik jadi warga Republik
Berpikir bebas
Setelah bertahun diuji kesetiaan dan keberanianmu
Dalam berpikir dan menyatakan kebebasan suara hati
Berpijak di tanah air nusantara
Dan menggarap tahun-tahun kemerdekaan
Dengan penuh kecintaan
Dan kami bersyukur pada Tuhan
Yang telah melebarkan gerbang tua ini
Dan kami bersyukur pada ibu bapa
Yang sepanjang malam
Selalu berdoa tulus dan terbungkuk membiayai kami
Dorongan kekasih sepenuh hati
Dan kami berhutang pada manusia
Yang telah menjadi guru-guru kami
Yang membayar pajak selama ini
Serta menjaga sepeda-sepeda kami
Pada hari ini di depan gerbangmu tua
Kami kenangkan cemara halamanmu dalam bau formalin
Mikroskop. Kamar obat. Perpustakaan
Gulungan layar di kampung nelayan
Nyanyi pohon-pohon perkebunan
Angin hijau di padang-padang peternakan
Deru kemarau di padang-padang penggembalaan
Dalam mimpi teknologi, kami kini dipanggil
Untuk menggarap tahun-tahun kemerdekaan
Dan mencintai manusianya
Mencintai kebebasannya.
Sudah Dua Puluh Tahun
Impian kemerdekaan
Di matamu membayang
Malam dan siang.
Di matamu membayang
Malam dan siang.
Oda pada Van Gogh
Pohon sipres.
Kafe tua
Di ujung jalan
Sepi.
Sepi jua
Langit berombak
Bulan disana
Sepi.
Sepi namanya.
Kafe tua
Di ujung jalan
Sepi.
Sepi jua
Langit berombak
Bulan di
Sepi.
Sepi namanya.
Perkiraan Sesudah Makan Malam, September
Demikianlah, bila kita harus berkata juga
Kontemporer!
Saat ini!
Ya
Saat ini juga
Dan secarik bintang melesat di atassana .
Kontemporer!
Saat ini!
Ya
Saat ini juga
Dan secarik bintang melesat di atas
Aku Belum Bisa Menyebutmu Lagi
Ya, aku belum bisa menyebut namamu lagi
Dalam surat, buku harian dan percakapan sehari-hari
Kembali seakan sebuah janji diikrarkan
Apa lagi yang dapat kita ucapkan
Seperti dulu, namamu penuh belum bisa kusebut kini
Jauhkan daku dari kekhianatan, doaku setiap kali
Daun-daun asam mulai bermerahan dalam gugusan
Bara kemarau, lunglai dan teramat pelahan
Di atas hutan kelelawar senja beterbangan
Beratus sayap berombak-ombak ke selatan
Menyebar di atas baris-baris merah berangkat tenggelam
Dan sekian ratus senja yang kucatat jadi malam
Kabut pun bagai uban di atas hutan-hutan
Uap air tipis, merendah dari tepi-tepi
Tak sampai gerimis hanya awan berlayangan
Duh namamu penuh, yang belum bisa kusebut kini
Pada suatu hari namamu utuh akan kusebut lagi
Di titik senyap kekhianatan doaku setiap kali
Di atas baris-baris merah yang berangkat tenggelam
Sekian ribu senja kucatat jadi malam.
Dalam surat, buku harian dan percakapan sehari-hari
Kembali seakan sebuah janji diikrarkan
Apa lagi yang dapat kita ucapkan
Seperti dulu, namamu penuh belum bisa kusebut kini
Jauhkan daku dari kekhianatan, doaku setiap kali
Daun-daun asam mulai bermerahan dalam gugusan
Bara kemarau, lunglai dan teramat pelahan
Di atas hutan kelelawar senja beterbangan
Beratus sayap berombak-ombak ke selatan
Menyebar di atas baris-baris merah berangkat tenggelam
Dan sekian ratus senja yang kucatat jadi malam
Kabut pun bagai uban di atas hutan-hutan
Uap air tipis, merendah dari tepi-tepi
Tak sampai gerimis hanya awan berlayangan
Duh namamu penuh, yang belum bisa kusebut kini
Pada suatu hari namamu utuh akan kusebut lagi
Di titik senyap kekhianatan doaku setiap kali
Di atas baris-baris merah yang berangkat tenggelam
Sekian ribu senja kucatat jadi malam.
2 September 1965, Senja
Kemerdekaan masih bertahan
Kemerdekaan untuk diam
Senja ini.
Kemerdekaan untuk diam
Senja ini.