Minggu, 02 Oktober 2011

Kumpulan Sajak Taufik Ismail "Sajak Ladang Jagung"

Januari, 1949
Butiran logam membunuh saudaraku
Dirabanya pinggangnya
Ketika dia rubuh
Sejemput dendam meluluh hatiku
Di mana kuburnya
Semakin jauh

Luka-lukamu
Luka bumi kita
Luka langit yang rapuh

Rumpun-rumpun bambu
Dan lereng akasia
Tempatmu berteduh

Matanya trembesi
Ngembara di padang lalang
Direnggutkan ke bumi
Dengan tujuh letusan.

Turun Malam

Sebuah lembah di depan, sungai menggeliat di perutnya
Di tepi hutan pinus sejenak kita istirah
Ialah biru yang sepotong, awan menggumpal berkejaran
Gunung benteng terakhir mendukung senja

Matahari terbakar dalam api yang sepi
Garis-garis angin mengucapkan selamat malam
Ke tengah kami tiga regu infanteri
Dalam derap hening akan memasuki lembah

Ada bintang mulai kemerlap membisik cahaya
Sebuah kota di bawah deru kabut yang jauh
Gunung-gunung bergetar panji malam semakin jelaga
Mengibarkan tangan angin pada dahanan meluruh

Seseorang pelahan menyanyikan lagu republik
Bersandar di cemara, laras senjata menunjuk langit
Memicingkan mata serta bahu memar ngembara
Rimba akasia di pucuk paling biru

Kutepuk kini pundakmu, bukit benteng setia
Sehabis di punggungmu kami sembahyang dalam doa
Ialah langkah merayap malam penyergapan
Ketika sebutir bintang gemerlap membisik cahaya.


Stasiun Tugu
Tahun empatpuluh tujuh, suatu malam di bulan Mei
Ketika kota menderai dalam gerimis yang renyai
Di tiang barat lentera merah mengerjap dalam basah
Menunggu perlahan naiknya tanda penghabisan

Kleneng andong terputus di jalan berlinangan
Suram ruang setasiun, beranda dan tempat menunggu
Truk menderu dan laskar berlagu lagu perjuangan
Di Tugu seorang ibu menunggu, dua anak dipangku

Berhentilah wkatu di stasiun Tugu, malam ini
Di suatu malam yang renyai, tahun empatpuluh tujuh
Para penjemput kereta Jakarta yang penghabisan
Hujan pun aneh di bulan Mei, tak kunjung teduh

Di tiang barat lentera mengerjap dalam basah
Anak perempuan itu dua tahun, melekap dalam pangkuan
Malam makin lembab, kuning gemetar lampu stasiun
Kakaknya masih menyanyi ‘Satu Tujuh Delapan Tahun’

Udara telah larut tanda naik pelan-pelan
Seluruh penjemput sama tegak, memandang ke arah barat
Ibu muda menjagakan anaknya yang kantuk dalam lena Berkata: lambaikan tanganmu dan panggillah bapa

Wahai ibu muda, seharian atap-atap kota untukmu berbasah!
Karena kezaliman militer pagi tadi terjadi di Klender
Seluruh republik menundukkan kepala, nestapa dan resah
Uap ungu berdesir menyeret gerbong jenazah terakhir.


Penghianatan

Siapa lagi sekarang akan ditangkap. 
Menanti 
Mungkin sebentar lagi mereka akan datang mengetuk pintu 
Mendorong masuk dan menjerembabkan nasib 
Di ambang waktu. 
Dengan berbagai tuduhan 
Barangkali agen mereka ada di antara kita 
Dengan pestol Browning di pinggang dalam 
Kita tak pernah pasti tahu 
Mengapa engkau pucat sekali? 
Intip cermin di atas lemari 
Di luar angin pepohonan damar masih berseru 
Atau jip-kah itu yang menderu? 
Cek sekali lagi: sudahkah semua dokumen dibakar 
Bersihkan sisa abu di lubang kloset 
Granat dan sten di dinding-papan 
Hapalkan nama-nama palsu kalian Sudjono! 
Hentikan goyangan kakimu 
Merokoklah. Merokok di kolong kalau tak tahan 
Udara terlalu pekap di sini, dalam temaram 
Kita makin berpeluh tapi jari kenapa menggigil 
Udara panas bergetah dengan bau ikan sardin 
Seorang bangkit pelan, mengintip di balik gorden
Tiba-tiba berteriak, melolong-lolong 
Tjok dan Momo menerkamku tak berbunyi 
Dan menyumbat mulutku Aku berontak, lepas dalam geliat liar 
Tapi badan mereka bagai sapi Bali 
Lenganku dikunci mereka ke punggung. 
Badanku 
Dibengkok-busurkan 
Keluh serak dari mulutku
‘Lepaskan dia. 
Dan kau diam’
Kata Budi
‘Kau terlalu tegang’
Diapun menuding ke sudut kamar
Aku terhuyung ke sana, dua langkah
Dan tiga langkah surut kembali
Dalam gerakan terpincang, kataku serak:
‘Budi, aku telah berkhianat’

Seluruh kamar tegang dan pekat
Halilintar meledak dalam ruangan
Mata mereka nanap, duka perjuangan semakin berat
Angin pepohonan damar menebas tajam bagai kelewang

‘Budi, aku sudah berkhianat’
Aku melihat berkeliling. 
Mereka diam aneh
Lenganku mula mengulur, lalu bergantungan
Dengan gelisah aku berputar melihat kawan-kawan
Mataku merah dan liar serigalaMeneriakkan ‘Aku pengkhianat!’
Dan aku tersedu, tertengkurap di tengah kamar
Mereka semua diam. 
Sudjono mematikan rokoknya
Aku menangis seperti anak lima tahun
Yang kehilangan baling-baling kertasnya
‘Tembaklah aku. 
Mereka sudah tahu semuanya
Aku tak tahan Budi, tembaklah aku di sini’
Budi memberi tanda. 
Senjata-senjata dibongkar dari dinding
Dengan perkasa mereka siap berangkat dalam formasi rahasia
Mereka akan menyelinap lewat gang belakang
Sepanjang urat-urat kota memperjuangkan kemerdekaan
Di sela rapatnya rumah-rumah, meneruskan gerakan di bawah tanah

Budi melucuti belatiku dan Momo memberi perintah 
Menggamit Tjok dan Maliki dengan tangan perunggu 
Perlahan yang lain berangkat satu-satu 
Setiap orang memerlukan menoleh padaku sebentar 
Di lantai, aku menekuri jubin sebelah meja 
Dan Momo yang akan menjalankan perintah komandan 
Berdiri dengan belatiku telanjang di tangan.

Buku Tamu Musium Perjuangan

Pada tahun keenam 
Setelah di kota kami didirikan 
Sebuah musium perjuangan 
Datanglah seorang lelaki setengah baya 
Berkunjung dari luar kota 
Pada sore bulan Nopember berhujan 
Dan menulis kesannya di buku tamu 
Buku tahun keenam, halaman seratus delapan

‘Bertahun-tahun aku rindu 
Untuk berkunjung ke mari 
Dari tempatku jauh sekali 
Bukan sekedar mengenang kembali 
Hari tembak-menembak dan malam penyergapan 
Di daerah ini 
Bukan sekedar menatap lukisan-lukisan 
Dan potret para pahlawan
Mengusap-usap karaben tua Baby mortir buatan sendiri 
Atau menghitung-hitung satyalencana 
Dan selalu mempercakapkannya

Alangkah sukarnya bagiku 
Dari tempatku kini, yang begitu jauh 
Untuk datang seperti saat ini 
Dengan jasad berbasah-basah 
Dalam gerimis bulan Nopember

Datang sore ini, menghayati musium yang lengang 
Sendiri 
Menghidupkan diriku kembali 
Dalam pikiran-pikiran waktu gerilya 
Di waktu kebebasan adalah impian keabadian 
Dan belum terpikir oleh kita masalah kebendaan 
Penggelapan dan salahguna pengatas-namaan 
Begitulah aku berjalan pelan-pelan 
Dalam musium ini yang lengang 
Dari lemari kaca tempat naskah-naskah berharga 
Ke sangkutan ikat kepala, sangkur-sangkur berbendera 
Maket pertempuran dan penyergapan di jalan Kuraba mitraliur Jepang dari baja hitam 
Jajaran bisu pestol Bulldog, pestol Colt PENGOEMOEMAN REPUBLIK yang mulai berdebu 
Gambar laskar yang kurus-kurus 
Dan kuberi tabik khidmat dan diam 
Pada gambar Pak Dirman

Mendekati tangga turun, aku menoleh kembali 
Ke ruangan yang sepi dan dalam 
Jendela musium dipukul angin dan hujan 
Kain pintu dan tingkap bergetaran 
Di pucuk-pucuk cemara halaman 
Tahun demi tahun mengalir pelan-pelan

Di depan tugu dalam musium ini 
Menjelang pintu keluar di tingkat bawah 
Aku berdiri dan menatap nama-nama 
Dipahat di sana dalam keping-keping aluminia 
Mereka yang telah tewas 
Dalam perang kemerdekaan 
Dan setinggi pundak jendela 
Kubaca namaku di sana…

Gugur Dalam Pencegatan Tahun Empat Puluh Delapan

Demikianlah cerita kakek penjaga 
Tentang pengunjung lelaki setengah baya 
Berkemeja dril lusuh, dari luar kota 
Matanya memandang jauh, tubuh amat kurusnya 
Datang ke musim perjuangan 
Pada suatu sore yang sepi 
Ketika hujan rinai tetes-tetes di jendela 
Dan angin mengibarkan tirai serta pucuk-pucuk cemara
Lelaki itu menulis kesannya di buku tamu 
Buku tahun keenam, halaman seratus delapan 
Dan sebelum dia pergi 
Menyalami dulu kakek Aki 
Dengan tangannya yang dingin aneh 
Setelah ke tugu nama-nama dia menoleh 
Lalu keluarlah dia, agak terseret berjalan 
Ke tengah gerimis di pekarangan 
Tetapi sebelum pagar halaman 
Lelaki itu tiba-tiba menghilang.

Tentang Sersan Nurcholis

Seorang sersan 
Kakinya hilang 
Sepuluh tahun yang lalu

Setiap siang 
Terdengar siulnya 
Di bengkel arloji

Sekali datang 
Teman-temannya 
Sudah orang resmi

Dengan senyum ditolaknya 
Kartu-anggota 
Bekas pejuang

Sersan Nurcholis 
Kakinya hilang 
Di zaman revolusi

Setiap siang 
Terdengar siulnya 
Di bengkel arloji

1946: Larut Malam Suara Sebuah Truk

Sebuah truk laskar menderu
Masuk kota Salatiga
Mereka menyanyikan lagu
‘Sudah Bebas Negeri Kita’

Di jalan Tuntang seorang anak kecil
Empat tahun, terjaga:
‘Ibu, akan pulangkah bapa,
Dan membawakan pestol buat saya?’


Gerimis Putih

Malam Oktober yang panjang, dan turun pelahan 
Merisik dedahanan telanjang serta deru tertahan 
Dada bumilah yang putih dan terlembut

Di pucuk-pucuk ranting keristal sama berpagut

Malam Oktober yang pucat, pergi pelahan 
Pagi basah mengambang biru pipi danau 
Bumi yang telentang malas, pesolek berpupur salju

Lidah logam berdentangan jauh lonceng gereja

Dan lengkung langit mengucurkan gerimis putih 
Perbukitan tepekur, di lerengnya deretan pohon pina 
Tiupan angin tak lagi tajam tapi lembut menyura 
Seperti Emilie tak akan pergi. 
Seperti dada tak akan pedih 
Lengkung langit yang mengucurkan gerimis putih.

Di Teluk Ikan Putih

Di Teluk Ikan Putih, telah terjangkar jasmaniku di pelabuhannya 
Pada kapal-kapal yang masuk dan tertambat sehari-hari 
Anak-anak camar bertebar atas arus melancar 
Dan perbukitan dandan perlente pina-pina berduri

Di Teluk Ikan Putih menutup siang musim semi panjang 
Pada langitnya keruh asap, bayang bangunan dan baja 
Di perut kota bangkitlah malam sambil melenggang 
Dan dermaganya hening lelap, berlelehan keristal kaca

Selamat jalan, malam-malam putih berhujan kapas 
Lewati perairan hening dengan pipinya dingin 
Masih ada yang berlinangan di sela gugusan karang 
Ngenangkan musim mengandung belati dalam angin 
Jabatlah teluk kami, persinggahan di tahun datang.

Bunga Alang - Alang

Bunga alang-alang
Di tebing kemarau
Menggelombang

Mengantar bisik cemara
Dalam getar

Di jalan setapak
Engkau berjalan Sendiri

Ketika pepohon damar
Menjajari
Bintang pagi

Sesudah topan
Membarut
Warna jingga
Dan seribu kalong
Bergayut
Di puncak randu
Di bawah bungur
Kau pungut bunga rindu

Sementara awan
Menyapu-nyapu Flamboyan

Kemarau pun
Berangkat
Dengan kaki tergesa

Dalam angin
Yang menerbangkan
Serbuk bunga.

Kabut Dalam Hujan Januari

Saat angin dan kabut Januari 
Berkejaran di atas atap-atap kota 
Serasa murid-muridku untukku bernyanyi
‘Hari Ini Nestapa Menyapa’

Adakah dingin dalam bunyi senja 
Yang bernapas pelan dalam gugur daunan 
Sampai padamu dalam warna-warna serupa 
Dan menyurakan angin yang gemetaran

Di sini aku duduk, jendela kabut berjalin dingin 
Bunga di luar musimnya ungu mengangguk-angguk 
Kujamah hati kamar ini dan merasa sangat ingin 
Berkata, di sini kau mestinya merenda duduk

Dan deru di langit yang tak lagi biru 
Berdenyar-denyar dalam gugusan badai 
Adakah itu yang kau beri nama rindu 
Berpijar-pijar namun tak sempat sampai

Adalah jalanan yang masuk dalam malam 
Bertebaran serta basah daun berjuta 
Napas kabut antara desah pohonan 
Menyapaku lengang lewat jendela.

Kafetaria Sabtu Pagi

Menu kafetaria Sabtu pagi:

Sepi.

Aku duduk dan minta segelas air es 
Dalam hatiku namamu, dan kau tak ada 
Orang-orang berbincang dan ketawa 
Sebuah dunia oleng dalam kafe ini 
Matahari jauh, suara-suara kendara riuh 
Sebuah dunia oleng dalam sepi 
Aku pun berdiri, menghadap pergi 
Ada tiada, seperti terpandang jua 
Ketika di luar memancar

Matahari pagi

Bulan Mei

Selemba, 1966

Adakah Suara Cemara

Ati

Adakah suara cemara 
Mendesing menderu padamu 
Adakah melintas sepintas 
Gemersik daunan lepas

Deretan bukit-bukit biru 
Menyeru lagu itu 
Gugusan mega 
Ialah hiasan kencana

Adakah suara cemara 
Mendesing menderu padamu 
Adakah lautan ladang jagung 
Mengombakkan suara itu.

Malam Sebelum Badai

Serangga tidak berbunyi pada musim air membeku 
dahan-dahan telanjang hitam permukaan sungai pecah tajam
itik-itik sore hari berenang di antara gugus-gugus putih 
suaranya riang namun aneh berkabutlah pohon-pohon taman pohon-pohon hutan apabila kapas terperinci bagai debu putih berlayangan dari atas yang tak jelas 
batas angin memutar ladang-ladang jagung pada ujung-ujung atap
tetes air mendapat nyawa kristal bergelantungan 
malam meniupkan sunyi berat 
menekan batang-batang cemara 
membagi warna warna putih pada semua permukaan yang ada 
cahaya bangun pudar 
dalam segi-segi empat 
di atas bukit kecil 
menyusun pesan bisu 
di manakah tupai-tupai itu 
serangga-serangga itu 
burung-burung flamingo 
bersayap merah muda 
angsa-angsa berenang rata di rawa-rawa
dengarlah badai mulai membisik 
dari jauh mengirimkan sejuta jarum-jarum dingin
lewat udara padang-padang utara rata 
lewat menara-menara kantor cuaca 
sedikit merah gemerlap 
saat ini mesin-mesin tak berbunyi 
kotak-kotak piringan tidak menyanyi 
kelepak sayap unggas-unggas utara sudah lama silam cakrawala terbenam bumi 
membunyikan sunyi 
pepohonan menggumam sunyi dengar badai mulai bersiul dari jauh 
memutar padang-padang jagung rata
apakah bunyi badai adakah badai berbunyi 
sepanjang ladang-ladang gandum 
yang jerami sungai putih 
membayang langit hilang udara 
mengental uap kristal cuaca lenyap cahaya 
dengarlah badai jauh membisik mengirimkan 
sejuta jarum-jarum alit 
dan dingin lewat padang-padang 
dan ladang-ladang membentang.

Pantun Terang Bulan Di Midwest

Sebuah bulan sempurna 
Bersinar agak merah 
Lingkarannya di sana 
Awan menggaris bawah

Sungai Mississippi lebar dan keruh 
Bunyi-bunyi sepi 
Amat gemuruh

Ladang-ladang jagung 
Rawa-rawa dukana 
Serangga mendengung 
Sampaikah suara

Cuaca musim gugur 
Bukit membisu 
Asap yang hancur
Biru abu-abu

Danau yang di sana 
Seribu burung belibis 
Lereng pohon pina 
Angin pun gerimis

Lagu Unggas Lagu Ikan

Katak rawa-rawa 
Menyanyi sendiri
Pii
Wii

Serangga pepohonan 
Daun bermerahan
Angsa menggelepar 
Dan berbunyi
Pii
Wii

Ikan danau jauh
Jerami yang luruh
Langit mengental 
Paya-paya kristal
Unggas sembunyi 
Hutan pun mati 
Bunyi yang sunyi
Pii
Wii

Bulan

Bulan pun merah 
Dan tersangkut 
Pada rimba musim gugur

Sungai pun lelah 
Dan mengangkut 
Daun-daun bertabur

Padang-padang jagung
Serangga mendesing 
Baling-baling
Berpusing

Lembu mengibas-ngibaskan 
Ekornya Jerami Terpelanting

Bulan merah
Tersangkut 
Ke bawah rimba 
Musim gugur

Doa Si Kecil

Tuhan Yang Pemurah

Beri mama kasur tebal di surga 
Tuhan Yang Kaya
Belikan ayah pipa yang indah
Amin.

Messina-Gibraltar

Rindu pun karena ujung dua benua 
Mengeras di julang perbatuan karang

Dendam pun karena biru teluk Lisboa
Di dada mengenang serasa berlinang.

Taman Di Tengah Pulau Karang

Di tengah Manhattan menjelang musim gugur 
Dalam kepungan rimba baja, pucuknya dalam awan 
Engkau terlalu bersendiri dengan danau kecilmu 
Dan pelahan melepas hijau daunan

Bebangku panjang dan hitam, lusuh dan retak
Seorang lelaki tua duduk menyebar 
Remah roti. Sementera itu bekelepak
Burung-burung merpati

Di lingir Manhattan bergelegar pengorek karang 
Merpati pun kaget beterbangan 
Suara mekanik dan racun rimba baja 
Menjajarkan pohon-pohon duka

Musim panas terengah melepas napas 
Pepohonan meratapinya dengan geletar ranting 
Orang tua itu berkemas dan tersaruk pergi 
Badai pun memutar daunan dalam kerucut 
Makin meninggi.

Seorang Kuli Tua di Setasiun Yokohama

Seorang kuli tua di setasiun Yokohama 
Ketika ekspres tengah hari masuk dari ibukota 
Berdiri agak terbungkuk di depan peron 
Handuk kecil di lehernya

Beratus penumpang turun sepanjang ruangan 
Menari dalam kilau jendela kereta 
Ia pun menjamah koporku setelah menatapku 
Agak lama

Hari itu musim panas di bulan Agustus 
Udara sangat lembab dan angin tak bertiup 
Menyeka dahi ditolaknya lembaran uang 
‘Aku dulu di Semarang’

Dengan hormat diucapkannya selamat jalan 
Ia pun kembali ke setasiun berbata-bata
Berkaus dan bersepatu putih 
Tiba-tiba wajahnya sangat tua

Di kapal kenapa kuingat kakak sepupuku 
Opsir Peta di Jatingaleh berlucut senjata 
Terbunuh dalam pertempuran lima hari
Dua belas tahun yang lalu

Hari itu musim panas di bulan Agustus 
Ketika ekspres tengah hari masuk dari ibukota
Seorang kuli di setasiun Yokohama 
Tiba-tiba wajahnya sangat tua.

Pelabuhan Sebelum Pasang

Jika kau bertanya, kesepian, maka lautlah jawabku 
Jika kau menyapa, kesedihan, maka topanlah ujarku 
Pelayaran panjang yang mengantarkan kita 
Dalam gelombang benua

Di kuala perairan, ketika malam sangat muda
Lentera tiang palka, di ruang makan dan buritan 
Gemetaran dalam garis putus-putus di pelabuhan 
Anak arus yang naik dan turun pelahan

Menjelang pelayaran bila badai berbadai 
Bercurahan bintang di langit bersemu biru 
Gemulung mendung yang menyarankan napas gelombang 
Guruh lagumu, wahai pelayaran yang panjang!

Karena kau bertanya, tiga peluit di tiap pelabuhan 
Setiap kita bertolak kembali mengemas jangkar tali-temali 
Adalah jurang-jurang lautan dengan kandil bintang selatan 
Bertetaplah ngembara untuk pelayaran panjang sekali.

Jalan Bukit Bintang

Ada sesuatu jadi, perlahan tengah jalan  
Ada langit.
Ada tambang. Ada air.
Ada hijauan Ada leher. 
Ada cakar 
Mata yang sayu memandangmu.
Memandangku 
Seorang anak tukang sate pukul duabelas malam 
Berumur sebelas dan bersepatu abu-abu 
Dia memandang malam di luar kafe, dia memandangku 
Dia memandangmu 
Suara-suara malam metropolitan
Cahaya yang melintas-lintas
Lelaki tua itu, ayahnya, atau pamannya barangkali 
Sedang memandamkan bara api 
Di depan kafe yang mulai sepi 
Ada bayang di jendela flat bermain 
Bayang-bayang hitam, bayang-bayang nyaris ungu 
Beberapa garis cahaya natrium 
Dan tiga lagu Mandarin 
Lelaki itu menyiram bara api

Berdesis Daun meja kafe dari pualam 
Ada sesuatu jadi, perlahan tengah jalan 
Ada langit. Ada tambang.  
Ada air. Ada hijauan Ada leher. 
Ada cakar 
Bayang berlarian sepanjang pertokoan
Melompat dari jendela ke jendela 
Anak tukang sate itu membenahi piring 
Bayang-bayang beriring-iring 
Anak itu menjulurkan lehernya 
Lelaki itu mengais bara api
Yang hangus 
Dan nyaris mati 
Depan kafe sepi 
Di sini.

Fortaleza De Malaca

Ada batu karang, salib hitam di atasnya 
Segaris pantai dan ombak yang memburu 
Ada bukit, di bawahnya benteng tua 
Melintas pohon melaka angin pun menderu

Tiada lagi sejarah, mungkin tinggal sidik jari 
Sejumlah pertempuran dan sekian nama-nama 
Lalu laut lepas, padang-padang rumput membentang 
Dan meriam terpasang depan gereja

Ada batu karang, salib hitam di atasnya 
Segaris pantai dan ombak yang memburu 
Ada bukit, benteng tua dalam balada 
Melintas pohon melaka angin pun menderu.

Kereta Malam Daratan Asia

Ada yang memburu-buru di belakang kereta malam Thai Express 
Ada yang menembus-nembus di antara jutaan dedaunan 
Angin meluncur, mersik gugur, bayang-bayang rawa malam 
Serasa bukit-bukit benua 
Serasa lewat jembatan tua 
Dentang-dentang suara 
Ada yang meloncat-loncat di bantalan rel kereta malam 
Ada yang menggores garis sinar di atas kelam 
Cahaya tak terjangkau, mungkin sebutir bintang yang dilupakan 
Ada bulan lepas sabit, tegak lurus atas bukit 
Tanah-tanah hitam 
Padang-padang lalang 
Pagoda-pagoda tua
Siul sunyi di sini…
Burung-burung hutan 
Bunyi air terjun 
Warna-warna yang hilang 
Warna-warna yang berlarian 
Siapa saling mengejar? Kini? 
Suara.Warna. Nafas. Cahaya. 
Musim kemarau yang terlampau keras 
Telah singgah di sebuah setasiun kecil 
Tak jauh dari danau. 
Di barat teluk yang menganga

Penjaja yang meneriakkan jajanan 
Debu September yang naik perlahan 
Ketika tiga rahib, berjubah merah muda
Melintas di jalanan 
Pecahan-pecahan batu cadas 
Sebuah sinyal yang letih 
Dan bunyi peluit putih 
Ada yang menggariskan jalan paralel ini 
Malam diturunkan, bintang-bintang dipasang dan angin jadi dingin 
Bulan lepas sabit pun terbit 
Serasa bukit-bukit benua
Serasa lewat jembatan tua 
Tanah lalang Padang habis terbakar

Dentang-dentang suara 
Dan garis cahaya parabola, tipis dan tajam
Mungkin sebutir bintang yang kulupakan
selama ini Gugus Bimasakti Jewat jendela kayu jati 
Meluncurkan angin dingin 
Ada kesunyian memburu di belakang itu dan
aku merasa ingin Menoleh.
Tapi adalah kelam jutaan daunan 
Serasa mersik gugur 
Serasa di atas rawa malam
Menggaris cahaya parabola
Tipis dan tajam 
Mungkin sebutir bintang yang terlupakan 
Selama ini. 


Semak-Semak Antena

Siapa itu mengacungkan tangan ke luar jendela 
Tingkat teratas Atmosfir penuh gelombang 
Awan di antara antena 
Gelombang elektronik, pita-pita magnetik
Mimpi yang bising 
Siapa itu melambaikan tangan di sana 
Di antara jarum-jarum antena 
Sebuah getaran, baiklah …

Sia-siakah? Getaran lalu-lintas di bawah 
Di sana
Di antara aturan-aturan kepolisian 
Di antara gasing karburator 
Udara daerah industri yang kotor 
Dalam kerucut asap

Dan perumahan kotak-kotak 
Lelaki setengah usia di beranda 
Membaca koran sore yang mekanis 
Penyiar dengan berita otomatis
Hai! Yang melambaikan tangan itu! Hai!

Panmunjom, Musim Panas 1970

Korea, semenanjung itu, matanya terpejam 
Silau musim panas dari matahari ia membaring, memanjang pada salah satu tulang rusuknya, 
melintang dan menggelombang melintas bukit
demi bukit yang berumput kering yang berkawat duri bagaikan sirip
lumba-lumba yang berenang
diam-diam di atas rumputan kering di atas lautan semak
tidak ada suara tidak ada lalu lintas 
tidak ada kanak-kanak tidak ada gerobak air 
tidak ada pemandangan desa inilah bukit-bukit yang termashyur itu bukit-bukit kubur yang ada 
adalah sepotong perut semenanjung dan cuaca di antaranya
ternyata tidak dapat kita menentukan segala-galanya
di sini sengketa
yang pernah membakar sumbu-sumbu logam dan lalu berpijaran
melompat dari satu bukit ke bukit lainnya
telah agak padam dan bersembunyi di antara rumput-rumput kering
dan menyelinap di antara semak-semak liar
atau bertengger jadi segumpal kanker pada sebatang pohon kastanye
di puncak sebuah bukit di sana
dan, di belakangnya adalah sungai dengan warna air sedikit keruh
saat ini semua diam
ada juga sesekali
margasatwa berbunyi
ataukah sedikit bernyanyi? tidak kukenal nama serangga itu tentunya dia akan keluar dari sarang musim-dinginnya, mengibas-ngibaskan sayapnya yang bagaikan kertas plastik, mengusap-ngusapkannya pada kakinya yang beruas-ruas dan mungkin sekali mengeluarkan bunyi yang aneh dari gesekan itu atau dari tali tenggorok
mungkin begitu mereka tentunya berjuta-juta di tanah ini lepas musim semi dan sebelumnya musim dingin yang kejam, sepatutnya di bulan Juli ini, pada siang ini mengeluarkan serempak bunyi yang bisa amat dahsyat
inilah angan-angan yang tidak sepantasnya terjadi siang hari siang ini
karena langit amat bersih cuaca 80 serta lembab dan di kawasan tak bertuan ini jalannya tanah, berdebu sedikit merah dan bisa mengepul
ketika dua orang anak muda itu mengenakan jaket tahan peluru mencoba membunyikan mesin jipnya sementara di lereng sana beberapa orang mengawasi ada yang mencangkung di gardu demarkasi
tidak kukenal nama-nama mereka tentunya mereka ketika keluar dari barak-barak musim-dingin, mengibas-ngibaskan lengan dan urat-urat pinggang yang pegal, menggosok-gosok corong-corong baja mereka dan mungkin sekali pernah menge-luarkan bunyi yang aneh itu dari picu-picu atau tidak seimbangnya komposisi bubuk mesiu
mungkin begitu mereka tentunya berpuluh-beratus-ribu di tanah ini
lepas musim semi, lepas musim dingin yang kejam dan menjelang musim rontok di padang lepas berbukit-bukit ini berpandang-pandangan dalam diam yang bisa akibatnya jadi amat dahsyat
inilah angan-angan yang tidak sepantasnya terjadi
inilah pilem-pilem tua yang tidak layak diputar lagi siang hari siang ini
sementera langit amat bersih lembab musimpanas yang pengap di atas sepotong tanah semenanjung di bawah setangkup langit demarkasi yang mengawasi bukit-bukit yang
menggelombung dan kering di sana-sini sedikit hijau
semak-semak liar
dengan kuntum-kuntum alit dan kabut jauh yang agak biru di sini kesunyian mengenalkan dirinya
dengan suasana sedikit tajam dan papan-papan penunjuk yang huruf-hurufnya terlalu persegi serta hitam, agak luntur mengenai divisi kedua
tetapi di manakah kawanan burung-burung itu yang layaknya berterbangan dalam formasi atau campur-baur seperti di katulistiwa dan sayap-sayap mereka yang sebentar nampak sebentar hilang atau semacam elang yang mengapung bagaikan menggantung dalam gerakan yang hampir tanpa gerakan tetapi di manakah kawanan itu sekarang di atas bukit-bukit di bawah setangkup langit awan pun tiada langit pun bagai baki perak yang menyilaukan terlalu polos adanya lengang ini terasa
tajam
amat sehabis peperangan udara dengan unggas-unggas logam yang bisa
menjerit-jerit garang dan mencecerkan ledakan
ledakan luarbiasa dengan asap
asap dan kerusakan-kerusakan yang matematis
dan putus-putuslah siklus biologi ini karena sirkulasi darah dipotong-potong, sistim tulang dan saraf diobrak-abrik, silsilah pohon keluarga ditebang-tebang, panen biji-bijian dan buah-buahan dirusak, migrasi burung-burung jadi kacau, air minum bau kelong-song dan air mata dan air mata …
tapi sudah itu
… angin …
kini pun
nampaknya ada sedikit angin
lewat rendah, membuat garis-garis lengkung pada pohon nue tee
di pundak bukit itu
dan juga di lerengnya
pada punggung akarnya dan
di dalam ketiak daun-daun
pasti ada unggas kecil berteduh
serta beberapa insekta, yang
menyiapkan bunyi-bunyian untuk beberapa jam lagi bila malam turun
tentunya juga beberapa hewan bersayap rapuh
yang bisa menyalakan lampu fosfor alit
di badannya, sedang istirahat untuk penerbangan sebentar malam
mereka tengah membenahi sarang-sarang
kecil di kulit-kulit kayu
sementara angin sore yang enggan
begitu saja membentuk garis-garis lengkung
lewat semak-semak liar menggelombang sepanjang barangkali 240 kilometer dan singgah di setiap check-point, sekali pun check-point
yang paling sepi dan paling dikhawatiri…
dan sebuah truk menderum
dan mengipaskan debu
pada sebuah lembah ini suatu komposisi yang agak aneh tetapi pasti ada saat itu beberapa serdadu yang jemu memikirkan tentang bunyi-bunyian gitar, transistor saku atau bunyi kelamin
beberapa jam lagi
bila malam turun
pada kedua sisi
perbatasan, yang lebar
empa tribu meter dan Korea, semenanjung itu, matanya terpejam mengantuk pada
malam musimpanas
dengan sebuah bulan
yang sempurna bulatnya
dan menguraikan benang-benang
sutera cahayanya
yang berserak
pada bukit-bukit
yang termasyhur itu
sementara
tunggul
sebatang
pohon kastanye ingat pada peluru-peluru sinyal cahaya dua puluh tahun yang lalu.

Musim Gugur Telah Turun di Rusia

Seekor burung raksasa pada suatu malam cuaca mengembangkan sayapnya yang perkasa mengibas-ngibaskannya gemuruh dan lena maka rontoklah bulu beledru di langit tua dan biru gugur dan gugur melayang dan berbaur

Musim gugur telah turun di Rusia

Berjuta bintik kapas warna putih angsa pada suatu malam cuaca naik mengembang bersama dan menggeliatlah dia menggelepar menyerakkan warna dan aroma

Musim panas melayang di atas Rusia

Dengan malasnya burung itu terbang sayapnya mengibaskan angin agak dingin daun-daun beriozka jadi berganti warna burung raksasa tiba di atas kutub utara dia berkaca sekilas di laut terus melayang ke bagian bumi yang lain seraya membagi-bagikan angin yang agak dingin

Musim gugur telah turun di Rusia.

Sapi Daging Peternakan Brenton

Inilah pabrik daging yang hidup
Inilah sebuah sistim
Matahari musim rontok bersinar
Tanahnya landai, lumpurnya subur
Dua ratus meter persegi tai sapi dalamnya satu dengkul
Mata rantai produksi kali ini
Adalah kandang-kadang sapi daging Peternakan Brenton

Dua ribu sapi menguak sekali gus
Dalam persatuan yang mengharukan
Suara mereka adalah
Ilustrasi padang-padang jagung
Tanah yang landai
Lumpur yang subur

Tangki air sembilan ribu galon
Kamar pengaduk makanan
Timbangan 5000 kilo
Kantor catatan kelahiran buku hitung dagang

Dan bau serbuk manis
Melayang bersama
Tepung jagung
Hinggap pada suara
Dua ribu sapi menguak sekali gus
Dalam persatuan yang mengharukan
Matahari bersinar miring
Masuk celah peredaran udara
Klinik sapi
Hai!

Para pasien leptospira dan diarrea
Si gemuk ternak penjara Iowa Beef Packers akan memperinci kalian
Industri ke seluruh negeri
Perusahaan pengalengan
Dan advertensi penuh fantasi!
Lewat pejagalan

Dua ribu sapi menguak sekali gus
Dalam persatuan yang mengharukan
Suara mereka adalah
Ilustrasi padang-padang jagung
Tanah yang landai
Lumpur yang subur
Bau sirup yang manis
Debu tepung jagung
Inilah pabrik daging yang hidup
Inilah sebuah sistim

Matahari musim rontok bersinar
Di atap kandang-kandang
Peternakan sapi daging Kepunyaan Brenton.



Bola Berguling di Bawah Panas Matahari

Di antara orang-orang baik hati duduk pencopet dalam kendaraan ini 
Agama telah dijadikan bus tua 
Yang mencari penumpang sebanyak-banyaknya
Bus jalan. 
Debu berkibar 
Pada suatu sore orang melempar senjata ke tengah jalan 
Dan ada lagu mars Pemadam Kebakaran
Bola berguling di bawah panas matahari

Percintaan adalah nasib yang aneh 
Hutan jati ketika rontok daun
Dekat pantai lagi surut 
Kanak-kanak main berkejaran
Bola berguling di bawah panas matahari
Bus jalan. 
Lewat jaringan lalu lintas 
Pada suatu pagi aku memejam Teluk San Francisco, Laut Jawa dan Mediterania 
Kemudian sebuah lepau nasi 
Orang tua baru selesai dengan mangkuk kahwanya 
Dia jalan, pergi, hari masih agak pagi 
Di atas ada hutan pina 
Sawah biasa, ladang lobak dan kebun tebu 
Tempat berburu babi
Bola berguling di bawah panas matahari
Medan maknit sepanjang rel kereta api 
Bintang terhampar di tempayan langit 
Bagai sulaman bintik-bintik cahaya 
Atas Padang Giring Giring, atas St. Petersburg lena 
Bus jalan. 
Seorang kanak bercelana pendek 
Membawa album hitam 
Di tepi jalan kota kecil 
Ke muara pelabuhan
Bola berguling di bawah panas matahari
Bus jalan. 
Banyak debu di warung orang Vietnam 
Dan Bur mengangkat gelasnya 
Pada sore Savannakhet yang sedikit aneh 
Kejutan tangis, daratan pengungsi dan amunisi 
Bola matahari telah meneteskan sejuta bom 
Aku menangisimu, dan kuacungkan tinju
Pada matahari yang pijar 
Hidupku serasa bergolek di atas sutera Siam 
Seraya menulis sajak-sajak percuma 
Bila mengingatmu

Bola berguling di bawah panas matahari
Alabama, Alabama 
Bunyikan lagu biru yang agak ngilu 
Duka yang terpental-pental Alabama 
Bus jalan.
Chicago muntah 
Dan menyiarkan lumpur salju yang hitam 
Sebuah kuburan mobil memanggil-manggil 
Mengembuskan asam karbon tanpa warna 
Dan Malcolm X menundingkan telunjuknya
Bola berguling di bawah panas matahari
Adalah percuma 
Menjahit padang pasir
Dengan menara-menara tambang minyak
Bola berguling di bawah panas matahari
Dan kepada Joseph Richard Smith Maharesi 14 tahun itu berkata:‘Teruskanlah kalimat ini, Joe:Jiwamu termaktub dalam iklan-iklan 
Lalu…’Dan berkatalah Joe Smith:‘Jiwaku termaktub dalam iklan-iklan 
Dan iklan-iklanku tanpa jiwa’

Bola berguling di bawah panas matahari
Alabama, Alabama 
Bunyikan lagu biru yang ngilu 
Duka hitam terpental-pental Alabama

Bola berguling di bawah panas matahari
Bus jalan. 
Debu berkibar
Dekat pangkalan pedati
Anak itu menendang sedikit keras 
Dan bola berguling 
Di bawah panas Matahari.

Trem Berklenengan di Kota San Francisco

Pagimu yang cerah, San Francisco, sampai padaku di atas bukit itu, lautmu bagai bubur agar-agar, uap air di langitmu mencecerkan serbuk kabut seperti tepung nilon dan terjela-jela sepanjang jembatan raksasamu tepat seperti kartu pos bergambar yang pernah kubeli di kedai Hindustan duapuluh empat tahun yang silam di Geylang Road ketika aku masih bercelana pendek dan asyik menghafalkan nama-nama hebat dengan huruf-huruf c, v, x, dan y pada pelajaran ilmu bumi di Sekolah Rakyat partikelir.

Matahari terlalu gembira menyinari bukit-bukitmu. Bukit-bukit yang ditumbuhi rumah-rumah Eropah, Meksiko, Habsyi dan Cina, bercat putih beratap merah tua dengan bunga-bungaan yang mekar karena persekutuan akrab dengan musim semi bagai tak kunjung habisnya. Debu segan padamu. Kotoran mekanika dan asam arang kau serahkan sepenuhnya pada Los Angeles si buruk muka. Dia cemburu padamu.

Pasar buah dan rempah-rempah. Trem berklenengan dan meluncur gila pada penurunan bukit-bukit sama-kaki yang sempit. Sebuah peti cat meledak di udara dan warna-warna pun dibagi-bagi pada deretan ba-ngunan dinding trem kota, tulang jembatan, atap, pintu dan jendela. Angin mengeringkannya dan mengaduknya dengan aroma daun-daun perladangan jeruk serta uap perairan dermaga lalu dikibas-kibaskan oleh sayap kawanan burung camar mengatasi muara lautan.

Percintaan bulan dengan lekuk-lekuk tubuhmu semacam percintaan anak-anak muda yang garang kemudian dilukiskan oleh pelukis-pelukis kubistis. Emas yang diburu-buru abad yang lalu dilambangkan dalam cahaya natrium, amat geometris. Lewat tingkap-tingkap dan pipa-pipa kaca, simetris dan tidak simetris. Kapal-kapal angkat jangkar.

Di ujung meja panjang terbuat dari kayu mahoni pada suatu bar dekat Market Street seorang tua berambut putih berkumis putih berjanggut putih duduk di atas kursi plastik yang bentuknya seperti bom waktu. “Aku tidak dengar Amerika menyanyi lagi”, ujarnya. Pelayan bar memberinya segelas bir.
Amerika tidak menyanyi lagi. Amerika mengerang.

Di atas bar kayu mahoni berlapis formika hampir biru muda, padang-padang Texas ke tengah, New York berhamburan ke dalam Grand Canyon, Niagara mengental, California tergulung-gulung. Walt Whit-man memeras Amerika bagai sehelai karbon bekas, dan si tua itu me-nuangkan bir Milwaukee berbusa ke atasnya.

Amerika mengeluarkan bunyi kerupuk kentang kering Yang dikunyah lambat-lambat
Camar-camar teluk San Francisco melayang di atas kedai-kedai bunga tulip, menelisik jaringan kawat trem-trem yang berkenengan dan buang air tepat di atas kantor asuransi.
Selamat jalan c
Selamat jalan v
Selamat jalan x
Selamat jalan y
Selamat jalan.

Petatah Petitih Baru

Mata
Gajah di seberang lautan tak tampak 
Kuman di pelupuk mata juga tak tampak

Humas
Menepuk air di dulang 
Tepercik ke muka sendiri 
Kemudian dilap dengan press release

Ekonomi
Sesal dahulu pendapatan 
Sesal kemudian pengeluaran

Pendidikan
Guru kencing berdiri 
Murid mengencingi guru

Hujan
Air hujan turunnya ke cucuran atap 
Kalau banjir atapnya yang turun ke air

Nasionalisme
Hujan batu di negeri orang 
Hujan emas di negeri sendiri 
Lebih enak di negeri sendiri

Penderitaan
Berakit-rakit ke hulu 
Berenang-renang ke tepian
Bersakit-sakit dahulu 
Bersakit-sakit berkepanjangan

PBB
Duduk sama rendah 
Berdiri lain-lain tingginya

Gunung Api
Maksud hati memeluk gunung 
Apa daya gunungnya meletus

Pers
Buruk muka pers dibelah.

Bagaimana Kalau

Bagaimana kalau dulu bukan khuldi yang dimakan Adam, tetapi buah alpukat

Bagaimana kalau bumi bukan bulat, tapi segi empat

Bagaimana kalau lagu Indonesia Raya kita rubah, dan kepada Koes Plus kita beri mandat

Bagaimana kalau ibukota Amerika Hanoi, dan ibukota Indonesia Monaco

Bagaimana kalau malam nanti jam sebelas, salju turun di Gunung Sahari

Bagaimana kalau bisa dibuktikan bahwa Ali Murtopo, Ali Sadikin dan Ali Wardhana ternyata pengarang-pengarang lagu pop

Bagaimana kalau hutang-hutang Indonesia dibayar dengan pementasan Rendra

Bagaimana kalau segala yang kita angankan terjadi, dan segala yang terjadi pernah kita rancangkan

Bagaimana kalau akustik dunia jadi demikian sempurnanya sehingga di kamar tidur kau sampai deru bom Vietnam, gemersik sejuta kaki pengungsi, gemuruh banjir dan gempa bumi serta suara-suara percintaan anak muda, juga bunyi industri presisi dan margasatwa Afrika

Bagaimana kalau pemerintah diizinkan protes dan rakyat kecil mempertimbangkan protes itu

Bagaimana kalau kesenian dihentikan saja sampai di sini dan kita pelihara ternak sebagai pengganti

Bagaimana kalau sampai waktunya kita tidak perlu bertanya bagaimana lagi.

Engkaukah Itu, Yang Berdiri Ditikungan Itu

Pada saat penyeberangan sesudah makan siang, lepas pantai Gilimanuk, kulihat kau bersandar di sana sepuluh tahun yang silam, pohon-pohon palma di belakangmu

Ada suatusaat di Margomulyo, sehabis sore Yogya dengan kuku burung balam mengantar malam, awan dan cahaya sama tenggelam

Berlayar di lautan Jawa dan Hindia, panggilan peluit uap cerobong asap dan lemparan tali sisal, tak sampai mencapai pantai

Berdiri di pojok lapangan Banteng sebelum ada terminal, engkau me-lintas sepintas serasa tidak aku kau kenal, kemudian kita naik oplet tua Willys tahun lima dua

Engkaukah itu depan warung desa Ayuthya, di pojok Metro Trocadero, di antara rak-rak buku toko Atheneo, di kampus pedalaman Indonesia yang bentuknya seperti gudang-gudang sederhana

Aku mencatatnya semua dan melupakannya semua, ketika makan masakan Szechwan yang lezat citarasanya atau ketika bersama misi militer, berdiri memandang padang-padang perbatasan negara yang dibagi dua, selatan dan utara

Para pengemis Colombo, Weleri, Marble Arch Underground, depan museum Tashkent, Ginza, pasar Senen Lama, Fifth Avenue, kalian semua membikin hatiku ngilu, tapi sekali gus menyin-dirku, bahwa sebenarnya daku juga pengemis kehidupan, dalam ukuran tertentu

Aku mencatatmu dan mencoba melupakanmu

Adalah perpustakaan, kuburan dan rumah yatim piatu yang amat dalam mencekamku, ke mana pun aku pergi kucoba menjenguk jendela dan pagarmu, adakah engkau di situ dan selintas, engkau ada di situ

Pagi ini aku sarapan agak banyak, waktuku adalah ujung musim semi dan pangkal musim panas, losmenku Stanhope Place nomor 4, telepon 01-262-4070, kamarku seharga dua paun tambah pelayanan sepuluh persen

Berdiri di West End memikirkan poster-poster teater, suara-suara orang Italia menjajakan hamburger dengan saus tomat, engkau pun lewat, berjalan satu tikungan dan berdiri depan sebuah boutique lalu kita menatap model dasi serta baju berwarnawarna gila dan biru tua

Restoran Aljazair itu amat lezat, sup ikan Paris luar biasa dan masakan Kanton adalah makanan raja-raja, namun aku rindu juga lepau nasi Padang dan warung tongseng Jawa yang bukan main lambannya, karena mungkin engkau, ada di sana

Engkau campur-baur dan seringkali kabur, namun aku mencatatmu, untuk rindu dan lalu kucoba, melupakanmu.

Kembalikan Indonesia PadaKu

Hari depan Indonesia adalah dua ratus juta mulut yang menganga

Hari depan Indonesia adalah bola-bola lampu 15 wat, sebagian berwarna putih dan sebagian hitam, yang menyala bergantian

Hari depan Indonesia adalah pertandingan pingpong siang malam dengan bola yang bentuknya seperti telur angsa

Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang tenggelam karena seratus juta penduduknya

Kembalikan Indonesia Padaku

Hari depan Indonesia adalah satu juta orang main pingpong siang malam dengan bola telur angsa di bawah sinar lampu 15 wat

Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang pelan-pelan tenggelam lantaran berat bebannya kemudian angsa-angsa berenangrenang di atasnya

Hari depan Indonesia adalah dua ratus juta mulut yang menganga, dan di dalam mulut itu ada bola-bola lampu 15 wat, sebagian putih dan sebagian hitam, yang menyala bergantian

Hari depan Indonesia adalah angsa-angsa putih yang berenang-renang sambil main pingpong di atas pulau Jawa yang tenggelam dan mem-bawa seratus juta bola lampu 15 wat ke dasar lautan

Kembalikan Indonesia Padaku

Hari depan Indonesia adalah pertandingan pingpong siang malam dengan bola yang bentuknya seperti telur angsa

Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang tenggelam karena seratus juta penduduknya

Hari depan Indonesia adalah bola-bola lampu 15 wat, sebagian berwarna putih dan sebagian hitam, yang menyala bergantian

Kembalikan Indonesia Padaku

Aku Ingin Menulis Puisi, Yang

Aku ingin menulis puisi, yang tidak semata-mata berurusan dengan cuaca, warna, cahaya, suara dan mega.

Aku ingin menulis syair untuk kanak-kanak yang melompat-lompat di pekarangan sekolah, yang main gundu dan petak umpet di halaman rumah, yang menangis karena tidak naik kelas tahun ini.

Aku ingin menulis puisi yang membuat orang berumur 55 tahun merasa 25, yang berumur 24 merasa 54 tahun, di mana pun mereka membacanya, bagaimanapun mereka membacanya: duduk atau berdiri.

Aku ingin menulis puisi untuk penjual rokok-kretek, tukang jahit kemeja, penanam lobak dan bawang perai, penambang sampan di sungai, penulis program komputer dan disertasi ilmu bedah, sehingga mereka berhenti sekejap dari kerja mereka dan sempat berkata: hidup ini, lumayan indah.

Aku ingin menulis syair buat pensiunan-pensiunan guru SD, pelamar-pelamar lowongan kerja, para langganan rumah gadai, plonco-plonci negeri dan swasta, pasien-pasien penyakit asma, kencing gula serta penganggur-penganggur sarjana, sehingga bila mereka baca beberapa sajakku, mereka bicara: hidup di Indonesia, mungkin harapan masih ada.

Aku ingin menulis sajak yang penuh proteina, sekedar zat kapur, bele-rang serta vitamina utama, sehingga puisi-puisiku ada sedikit berguna bagi kerja dokter-dokter umum, dokter hewan, insinyur pertanian dan peternakan.

Aku ingin menulis puisi bagi para pensiunan yang pensiunannya dipersulit otorisasinya, tahanan politik dan kriminal, siapa juga yang tersiksa, sehingga mereka ingat bahwa keadilan, tak putus diperjuangkan.

Aku ingin menulis sajak yang bisa membuat orang ingat pada Tuhan di waktu senang, senang yang sedang-sedang atau yang berlebihan.
Barangkali aku tak bisa menulis demikian.Tapi aku kepingin menuliskannya.Tapi ingin.

Aku ingin menulis puisi yang bisa dibidikkan tepat pada tubuh kehidupan, menembus selaput lendir, jaringan lemak, susunan daging, pembuluh darah arteri dan vena, mengetuk tulang dan membenam sumsum, sehingga perubahan fisika dan kimiawi, terjadi.

Aku ingin menulis puisi di buku catatan rapat-rapat Bappenas, pada agenda muktamar mahasiswa, surat-surat cinta muda mudi Indonesia, pada kolom kiri lembaran wesel yang tiap bulan dikirimkan orangtua pada anaknya yang sekolah jauh di kota.

Aku ingin menulis syair pada cetak-biru biru-biro arsitek, pada payung penerjun terkembang di udara, pada iklan-iklan jamu bersalin, pada tajuk rencana koran ibukota dan pada lagu pop anak-anak muda.

Aku ingin menulis sekali lagi puisi mengenang jendral Sudirman yang berparu-paru satu, serta tentang sersan dan prajurit yang terjun malam di Irian Barat kemudian tersangkut di pepohonan raksasa atau terbenam di rawa-rawa malaria.

Aku ingin menulis syair yang mencegah kopral-kopral tak pernah bertempur agar berhenti menempelengi sopir-sopir oplet yang tarikannya payah.

Aku ingin menulis sajak ambisius yang bisa menghentikan perang saudara dan perang tidak saudara, puisi konsep gencatan senjata, puisi yang bisa membatalkan pemilihan umum, menambal birokrasi, menghibur para pengungsi dan menyembuhkan pasien-pasien psikiatri.

Aku ingin menulis seratus pantun buat anak-anak berumur lima dan sepuluh tahun sehingga bila dibacakan buat mereka, maka mereka tertawa dan gigi mereka yang putih dan rata jelas kelihatan.

Aku ingin menulis puisi yang menyebabkan nasi campur dimakan serasa hidangan hotel-hotel mahal dan yang menyebabkan petani-petani membatalkan niat naik haji dengan menggadaikan sawah dan perhiasan emas sang isteri.

Aku ingin menulis puisi tentang merosotnya pendidikan, tentang Nabi Adam, keluarga berencana, sepur Hikari, lembah Anai, Amir Machmud, Piccadily Circus, taman kanak-kanak, Opsus, Raja Idrus, nasi gudeg, kota Samarkand, Raymond Westerling, Laos, Emil Salim, Roxas Boulevard, Dja’far Nur Aidit, modal asing, Checkpoint Charlie, Zainal Zakse, utang $ 3 milyard, pelabuhan Rotterdam, Champ Elysses dan bayi ajaib, semuanya disusun kembali menurut urutan abjad.

Aku ingin menulis puisi yang mencegah kemungkinan pedagang-pedagang Jepang merampoki kayu di rimba dalam Kalimantan, melarang penggali minyak dan penanam modal mancanegara menyuapi penguasa yang lemah iman, dan melarang sogokan uang pada pejabat bea cukai serta pengadilan.

Aku ingin menggubah syair yang menghapuskan dendam anak-anak yatim piatu yang orangtua dan paman bibinya terbunuh pada waktu pemberontakan komunis yang telah silam.

Aku ingin menulis gurindam yang menghapuskan dendam anak-anak yatim piatu yang orangtua dan paman bibinya dibunuh pada waktu pemberontakan komunis yang telah silam.

Barangkali aku tidak sempat menuliskannya semua.
Tapi aku ingin menulis puisi-puisi demikian.
Aku ingin.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar