Butiran logam membunuh saudaraku
Dirabanya pinggangnya
Ketika dia rubuh
Sejemput dendam meluluh hatiku
Di mana kuburnya
Semakin jauh
Luka-lukamu
Luka bumi kita
Luka langit yang rapuh
Rumpun-rumpun bambu
Dan lereng akasia
Tempatmu berteduh
Matanya trembesi
Ngembara di padang lalang
Direnggutkan ke bumi
Dengan tujuh letusan.
Turun Malam
Sebuah lembah di depan, sungai menggeliat di perutnya
Di tepi hutan pinus sejenak kita istirah
Ialah biru yang sepotong, awan menggumpal berkejaran
Gunung benteng terakhir mendukung senja
Matahari terbakar dalam api yang sepi
Garis-garis angin mengucapkan selamat malam
Ke tengah kami tiga regu infanteri
Dalam derap hening akan memasuki lembah
Ada bintang mulai kemerlap membisik cahaya
Sebuah kota di bawah deru kabut yang jauh
Gunung-gunung bergetar panji malam semakin jelaga
Mengibarkan tangan angin pada dahanan meluruh
Seseorang pelahan menyanyikan lagu republik
Bersandar di cemara, laras senjata menunjuk langit
Memicingkan mata serta bahu memar ngembara
Rimba akasia di pucuk paling biru
Kutepuk kini pundakmu, bukit benteng setia
Sehabis di punggungmu kami sembahyang dalam doa
Ialah langkah merayap malam penyergapan
Ketika sebutir bintang gemerlap membisik cahaya.
Stasiun Tugu
Tahun empatpuluh tujuh, suatu malam di bulan Mei
Ketika kota menderai dalam gerimis yang renyai
Di tiang barat lentera merah mengerjap dalam basah
Menunggu perlahan naiknya tanda penghabisan
Kleneng andong terputus di jalan berlinangan
Suram ruang setasiun, beranda dan tempat menunggu
Truk menderu dan laskar berlagu lagu perjuangan
Di Tugu seorang ibu menunggu, dua anak dipangku
Berhentilah wkatu di stasiun Tugu, malam ini
Di suatu malam yang renyai, tahun empatpuluh tujuh
Para penjemput kereta Jakarta yang penghabisan
Hujan pun aneh di bulan Mei, tak kunjung teduh
Di tiang barat lentera mengerjap dalam basah
Anak perempuan itu dua tahun, melekap dalam pangkuan
Malam makin lembab, kuning gemetar lampu stasiun
Kakaknya masih menyanyi ‘Satu Tujuh Delapan Tahun’
Udara telah larut tanda naik pelan-pelan
Seluruh penjemput sama tegak, memandang ke arah barat
Ibu muda menjagakan anaknya yang kantuk dalam lena Berkata: lambaikan tanganmu dan panggillah bapa
Wahai ibu muda, seharian atap-atap kota untukmu berbasah!
Karena kezaliman militer pagi tadi terjadi di Klender
Seluruh republik menundukkan kepala, nestapa dan resah
Uap ungu berdesir menyeret gerbong jenazah terakhir.
Penghianatan
Siapa lagi sekarang akan ditangkap.
Menanti
Mungkin sebentar
lagi mereka akan datang mengetuk pintu
Mendorong masuk dan menjerembabkan nasib
Di ambang waktu.
Dengan berbagai tuduhan
Barangkali agen mereka ada di antara
kita
Dengan pestol Browning di pinggang dalam
Kita tak pernah pasti tahu
Mengapa engkau pucat sekali?
Intip cermin di atas lemari
Di luar angin
pepohonan damar masih berseru
Atau jip-kah itu yang menderu?
Cek sekali lagi:
sudahkah semua dokumen dibakar
Bersihkan sisa abu di lubang kloset
Granat dan
sten di dinding-papan
Hapalkan nama-nama palsu kalian Sudjono!
Hentikan goyangan
kakimu
Merokoklah. Merokok di kolong kalau tak tahan
Udara terlalu pekap di
sini, dalam temaram
Kita makin berpeluh tapi jari kenapa menggigil
Udara panas
bergetah dengan bau ikan sardin
Seorang bangkit pelan, mengintip di balik
gorden
Tiba-tiba berteriak, melolong-lolong
Tiba-tiba berteriak, melolong-lolong
Tjok dan Momo menerkamku tak berbunyi
Dan
menyumbat mulutku Aku berontak, lepas dalam geliat liar
Tapi badan mereka bagai
sapi Bali
Lenganku dikunci mereka ke punggung.
Badanku
Dibengkok-busurkan
Keluh
serak dari mulutku
‘Lepaskan dia.
‘Lepaskan dia.
Dan kau diam’
Kata Budi
‘Kau terlalu tegang’
Diapun menuding ke sudut kamar
Aku terhuyung ke sana, dua langkah
Dan tiga langkah surut kembali
Dalam gerakan terpincang, kataku serak:
‘Budi, aku telah berkhianat’
Seluruh kamar tegang dan pekat
Halilintar meledak dalam ruangan
Mata mereka nanap, duka perjuangan semakin berat
Angin pepohonan damar menebas tajam bagai kelewang
‘Budi, aku sudah berkhianat’
Kata Budi
‘Kau terlalu tegang’
Diapun menuding ke sudut kamar
Aku terhuyung ke sana, dua langkah
Dan tiga langkah surut kembali
Dalam gerakan terpincang, kataku serak:
‘Budi, aku telah berkhianat’
Seluruh kamar tegang dan pekat
Halilintar meledak dalam ruangan
Mata mereka nanap, duka perjuangan semakin berat
Angin pepohonan damar menebas tajam bagai kelewang
‘Budi, aku sudah berkhianat’
Aku melihat berkeliling.
Mereka diam aneh
Lenganku
mula mengulur, lalu bergantungan
Dengan gelisah aku berputar melihat
kawan-kawan
Mataku merah dan liar serigalaMeneriakkan ‘Aku pengkhianat!’
Dan aku
tersedu, tertengkurap di tengah kamar
Mereka semua diam.
Mereka semua diam.
Sudjono mematikan rokoknya
Aku menangis seperti anak lima tahun
Yang kehilangan
baling-baling kertasnya
‘Tembaklah aku.
Mereka sudah tahu semuanya
Aku tak tahan
Budi, tembaklah aku di sini’
Budi memberi tanda.
Budi memberi tanda.
Senjata-senjata dibongkar dari dinding
Dengan perkasa mereka siap berangkat dalam formasi rahasia
Mereka akan menyelinap lewat gang belakang
Sepanjang urat-urat kota memperjuangkan kemerdekaan
Di sela rapatnya rumah-rumah, meneruskan gerakan di bawah tanah
Budi melucuti belatiku dan Momo memberi perintah
Dengan perkasa mereka siap berangkat dalam formasi rahasia
Mereka akan menyelinap lewat gang belakang
Sepanjang urat-urat kota memperjuangkan kemerdekaan
Di sela rapatnya rumah-rumah, meneruskan gerakan di bawah tanah
Budi melucuti belatiku dan Momo memberi perintah
Menggamit Tjok dan Maliki
dengan tangan perunggu
Perlahan yang lain berangkat satu-satu
Setiap orang
memerlukan menoleh padaku sebentar
Di lantai, aku menekuri jubin sebelah meja
Dan Momo yang akan menjalankan perintah komandan
Berdiri dengan belatiku
telanjang di tangan.
Buku Tamu Musium Perjuangan
Pada tahun keenam
Setelah di kota kami didirikan
Sebuah musium
perjuangan
Datanglah seorang lelaki setengah baya
Berkunjung dari luar kota
Pada sore bulan Nopember berhujan
Dan menulis kesannya di buku tamu
Buku tahun
keenam, halaman seratus delapan
‘Bertahun-tahun aku rindu
‘Bertahun-tahun aku rindu
Untuk berkunjung ke mari
Dari tempatku jauh sekali
Bukan sekedar mengenang kembali
Hari tembak-menembak dan malam penyergapan
Di
daerah ini
Bukan sekedar menatap lukisan-lukisan
Dan potret para pahlawan
Mengusap-usap karaben tua Baby mortir buatan sendiri
Atau menghitung-hitung
satyalencana
Dan selalu mempercakapkannya
Alangkah sukarnya bagiku
Alangkah sukarnya bagiku
Dari tempatku kini, yang begitu jauh
Untuk datang
seperti saat ini
Dengan jasad berbasah-basah
Dalam gerimis bulan Nopember
Datang sore ini, menghayati musium yang lengang
Datang sore ini, menghayati musium yang lengang
Sendiri
Menghidupkan diriku
kembali
Dalam pikiran-pikiran waktu gerilya
Di waktu kebebasan adalah impian
keabadian
Dan belum terpikir oleh kita masalah kebendaan
Penggelapan dan
salahguna pengatas-namaan
Begitulah aku berjalan pelan-pelan
Dalam musium ini
yang lengang
Dari lemari kaca tempat naskah-naskah berharga
Ke sangkutan ikat
kepala, sangkur-sangkur berbendera
Maket pertempuran dan penyergapan di jalan
Kuraba mitraliur Jepang dari baja hitam
Jajaran bisu pestol Bulldog, pestol
Colt PENGOEMOEMAN REPUBLIK yang mulai berdebu
Gambar laskar yang kurus-kurus
Dan kuberi tabik khidmat dan diam
Pada gambar Pak Dirman
Mendekati tangga turun, aku menoleh kembali
Mendekati tangga turun, aku menoleh kembali
Ke ruangan yang sepi dan dalam
Jendela musium dipukul angin dan hujan
Kain pintu dan tingkap bergetaran
Di
pucuk-pucuk cemara halaman
Tahun demi tahun mengalir pelan-pelan
Di depan tugu dalam musium ini
Di depan tugu dalam musium ini
Menjelang pintu keluar di tingkat bawah
Aku
berdiri dan menatap nama-nama
Dipahat di sana dalam keping-keping aluminia
Mereka yang telah tewas
Dalam perang kemerdekaan
Dan setinggi pundak jendela
Kubaca namaku di sana…
Gugur Dalam Pencegatan Tahun Empat Puluh Delapan
Demikianlah cerita kakek penjaga
Tentang pengunjung lelaki
setengah baya
Berkemeja dril lusuh, dari luar kota
Matanya memandang jauh,
tubuh amat kurusnya
Datang ke musim perjuangan
Pada suatu sore yang sepi
Ketika
hujan rinai tetes-tetes di jendela
Dan angin mengibarkan tirai serta
pucuk-pucuk cemara
Lelaki itu menulis kesannya di buku tamu
Buku tahun keenam,
halaman seratus delapan
Dan sebelum dia pergi
Menyalami dulu kakek Aki
Dengan
tangannya yang dingin aneh
Setelah ke tugu nama-nama dia menoleh
Lalu keluarlah
dia, agak terseret berjalan
Ke tengah gerimis di pekarangan
Tetapi sebelum
pagar halaman
Lelaki itu tiba-tiba menghilang.
Tentang Sersan Nurcholis
Seorang sersan
Kakinya hilang
Sepuluh tahun yang lalu
Setiap siang
Setiap siang
Terdengar siulnya
Di bengkel arloji
Sekali datang
Sekali datang
Teman-temannya
Sudah orang resmi
Dengan senyum ditolaknya
Dengan senyum ditolaknya
Kartu-anggota
Bekas pejuang
Sersan Nurcholis
Sersan Nurcholis
Kakinya hilang
Di zaman revolusi
Setiap siang
Setiap siang
Terdengar siulnya
Di bengkel arloji
1946: Larut Malam Suara Sebuah Truk
Sebuah truk laskar menderu
Masukkota
Salatiga
Mereka menyanyikan lagu
‘Sudah Bebas Negeri Kita’
Di jalan Tuntang seorang anak kecil
Empat tahun, terjaga:
‘Ibu, akan pulangkah bapa,
Dan membawakan pestol buat saya?’
Masuk
Mereka menyanyikan lagu
‘Sudah Bebas Negeri Kita’
Di jalan Tuntang seorang anak kecil
Empat tahun, terjaga:
‘Ibu, akan pulangkah bapa,
Dan membawakan pestol buat saya?’
Gerimis Putih
Malam Oktober yang panjang, dan turun pelahan
Merisik
dedahanan telanjang serta deru tertahan
Dada bumilah yang putih dan terlembut
Di pucuk-pucuk ranting keristal sama berpagut
Malam Oktober yang pucat, pergi pelahan
Di pucuk-pucuk ranting keristal sama berpagut
Malam Oktober yang pucat, pergi pelahan
Pagi basah mengambang biru pipi danau
Bumi yang telentang malas, pesolek berpupur salju
Lidah logam berdentangan jauh lonceng gereja
Dan lengkung langit mengucurkan gerimis putih
Lidah logam berdentangan jauh lonceng gereja
Dan lengkung langit mengucurkan gerimis putih
Perbukitan tepekur, di lerengnya
deretan pohon pina
Tiupan angin tak lagi tajam tapi lembut menyura
Seperti
Emilie tak akan pergi.
Seperti dada tak akan pedih
Lengkung langit yang
mengucurkan gerimis putih.
Di Teluk Ikan Putih
Di Teluk Ikan Putih, telah terjangkar jasmaniku di
pelabuhannya
Pada kapal-kapal yang masuk dan tertambat sehari-hari
Anak-anak
camar bertebar atas arus melancar
Dan perbukitan dandan perlente pina-pina
berduri
Di Teluk Ikan Putih menutup siang musim semi panjang
Di Teluk Ikan Putih menutup siang musim semi panjang
Pada langitnya keruh asap,
bayang bangunan dan baja
Di perut kota bangkitlah malam sambil melenggang
Dan
dermaganya hening lelap, berlelehan keristal kaca
Selamat jalan, malam-malam putih berhujan kapas
Selamat jalan, malam-malam putih berhujan kapas
Lewati perairan hening dengan
pipinya dingin
Masih ada yang berlinangan di sela gugusan karang
Ngenangkan musim
mengandung belati dalam angin
Jabatlah teluk kami, persinggahan di tahun
datang.
Bunga Alang - Alang
Bunga alang-alangDi tebing kemarau
Menggelombang
Mengantar bisik cemara
Dalam getar
Di jalan setapak
Engkau berjalan Sendiri
Ketika pepohon damar
Menjajari
Bintang pagi
Sesudah topan
Membarut
Warna jingga
Dan seribu kalong
Bergayut
Di puncak randu
Di bawah bungur
Kau pungut bunga rindu
Sementara awan
Menyapu-nyapu Flamboyan
Kemarau pun
Berangkat
Dengan kaki tergesa
Dalam angin
Yang menerbangkan
Serbuk bunga.
Kabut Dalam Hujan Januari
Saat angin dan kabut Januari
Berkejaran di atas atap-atap
kota
Serasa murid-muridku untukku bernyanyi
‘Hari Ini Nestapa Menyapa’
Adakah dingin dalam bunyi senja
‘Hari Ini Nestapa Menyapa’
Adakah dingin dalam bunyi senja
Yang bernapas pelan dalam gugur daunan
Sampai
padamu dalam warna-warna serupa
Dan menyurakan angin yang gemetaran
Di sini aku duduk, jendela kabut berjalin dingin
Di sini aku duduk, jendela kabut berjalin dingin
Bunga di luar musimnya ungu
mengangguk-angguk
Kujamah hati kamar ini dan merasa sangat ingin
Berkata, di
sini kau mestinya merenda duduk
Dan deru di langit yang tak lagi biru
Dan deru di langit yang tak lagi biru
Berdenyar-denyar dalam gugusan badai
Adakah itu yang kau beri nama rindu
Berpijar-pijar namun tak sempat sampai
Adalah jalanan yang masuk dalam malam
Adalah jalanan yang masuk dalam malam
Bertebaran serta basah daun berjuta
Napas
kabut antara desah pohonan
Menyapaku lengang lewat jendela.
Kafetaria Sabtu Pagi
Menu kafetaria Sabtu pagi:
Sepi.
Aku duduk dan minta segelas air es
Sepi.
Aku duduk dan minta segelas air es
Dalam hatiku namamu, dan kau tak ada
Orang-orang berbincang dan ketawa
Sebuah dunia oleng dalam kafe ini
Matahari
jauh, suara-suara kendara riuh
Sebuah dunia oleng dalam sepi
Aku pun berdiri,
menghadap pergi
Ada tiada, seperti terpandang jua
Ketika di luar memancar
Matahari pagi
Bulan Mei
Selemba, 1966
Matahari pagi
Bulan Mei
Selemba, 1966
Adakah Suara Cemara
Ati
Adakah suara cemara
Adakah suara cemara
Mendesing menderu padamu
Adakah melintas sepintas
Gemersik
daunan lepas
Deretan bukit-bukit biru
Deretan bukit-bukit biru
Menyeru lagu itu
Gugusan mega
Ialah hiasan kencana
Adakah suara cemara
Adakah suara cemara
Mendesing menderu padamu
Adakah lautan ladang jagung
Mengombakkan suara itu.
Malam Sebelum Badai
Serangga tidak berbunyi pada musim air membeku
dahan-dahan
telanjang hitam permukaan sungai pecah tajam
itik-itik sore hari berenang di
antara gugus-gugus putih
suaranya riang namun aneh berkabutlah pohon-pohon
taman pohon-pohon hutan apabila kapas terperinci bagai debu putih berlayangan
dari atas yang tak jelas
batas angin memutar ladang-ladang jagung pada
ujung-ujung atap
tetes air mendapat nyawa kristal bergelantungan
malam
meniupkan sunyi berat
menekan batang-batang cemara
membagi warna warna putih
pada semua permukaan yang ada
cahaya bangun pudar
dalam segi-segi empat
di atas
bukit kecil
menyusun pesan bisu
di manakah tupai-tupai itu
serangga-serangga
itu
burung-burung flamingo
bersayap merah muda
angsa-angsa berenang rata di
rawa-rawa
dengarlah badai mulai membisik
dari jauh mengirimkan sejuta
jarum-jarum dingin
lewat udara padang-padang utara rata
lewat menara-menara
kantor cuaca
sedikit merah gemerlap
saat ini mesin-mesin tak berbunyi
kotak-kotak piringan tidak menyanyi
kelepak sayap unggas-unggas utara sudah lama
silam cakrawala terbenam bumi
membunyikan sunyi
pepohonan menggumam sunyi
dengar badai mulai bersiul dari jauh
memutar padang-padang jagung rata
apakah
bunyi badai adakah badai berbunyi
sepanjang ladang-ladang gandum
yang jerami
sungai putih
membayang langit hilang udara
mengental uap kristal cuaca lenyap
cahaya
dengarlah badai jauh membisik mengirimkan
sejuta jarum-jarum alit
dan
dingin lewat padang-padang
dan ladang-ladang membentang.
Pantun Terang Bulan Di Midwest
Sebuah bulan sempurna
Bersinar agak merah
Lingkarannya di
sana
Awan menggaris bawah
Sungai Mississippi lebar dan keruh
Sungai Mississippi lebar dan keruh
Bunyi-bunyi sepi
Amat gemuruh
Ladang-ladang jagung
Ladang-ladang jagung
Rawa-rawa dukana
Serangga mendengung
Sampaikah suara
Cuaca musim gugur
Cuaca musim gugur
Bukit membisu
Asap yang hancur
Biru abu-abu
Danau yang di sana
Danau yang di sana
Seribu burung belibis
Lereng pohon pina
Angin pun gerimis
Lagu Unggas Lagu Ikan
Katak rawa-rawa
Menyanyi sendiri
Pii
Wii
Serangga pepohonan
Pii
Wii
Serangga pepohonan
Daun bermerahan
Angsa menggelepar
Angsa menggelepar
Dan berbunyi
Pii
Wii
Ikan danau jauh
Pii
Wii
Ikan danau jauh
Jerami yang luruh
Langit mengental
Langit mengental
Paya-paya kristal
Unggas sembunyi
Unggas sembunyi
Hutan pun mati
Bunyi yang sunyi
Pii
Wii
Pii
Wii
Bulan
Bulan pun merah
Dan tersangkut
Pada rimba musim gugur
Sungai pun lelah
Sungai pun lelah
Dan mengangkut
Daun-daun bertabur
Padang-padang jagung
Padang-padang jagung
Serangga mendesing
Baling-baling
Berpusing
Lembu mengibas-ngibaskan
Lembu mengibas-ngibaskan
Ekornya Jerami Terpelanting
Bulan merah
Bulan merah
Tersangkut
Ke bawah rimba
Musim gugur
Doa Si Kecil
Tuhan Yang Pemurah
Beri mama kasur tebal di surga
Beri mama kasur tebal di surga
Tuhan Yang Kaya
Belikan ayah pipa yang indah
Amin.
Messina-Gibraltar
Rindu pun karena ujung dua benua
Mengeras di julang
perbatuan karang
Dendam pun karena biru teluk Lisboa
Dendam pun karena biru teluk Lisboa
Di dada mengenang serasa berlinang.
Taman Di Tengah Pulau Karang
Di tengah Manhattan
menjelang musim gugur
Dalam kepungan rimba baja, pucuknya dalam awan
Engkau
terlalu bersendiri dengan danau kecilmu
Dan pelahan melepas hijau daunan
Bebangku panjang dan hitam, lusuh dan retak
Bebangku panjang dan hitam, lusuh dan retak
Seorang lelaki tua duduk menyebar
Remah roti. Sementera itu bekelepak
Burung-burung merpati
Di lingir Manhattan bergelegar pengorek karang
Di lingir Manhattan bergelegar pengorek karang
Merpati pun kaget beterbangan
Suara mekanik dan racun rimba baja
Menjajarkan pohon-pohon duka
Musim panas terengah melepas napas
Musim panas terengah melepas napas
Pepohonan meratapinya dengan geletar ranting
Orang tua itu berkemas dan tersaruk pergi
Badai pun memutar daunan dalam
kerucut
Makin meninggi.
Seorang Kuli Tua di Setasiun Yokohama
Seorang kuli tua di setasiun Yokohama
Ketika ekspres tengah
hari masuk dari ibukota
Berdiri agak terbungkuk di depan peron
Handuk kecil di
lehernya
Beratus penumpang turun sepanjang ruangan
Beratus penumpang turun sepanjang ruangan
Menari dalam kilau jendela kereta
Ia
pun menjamah koporku setelah menatapku
Agak lama
Hari itu musim panas di bulan Agustus
Hari itu musim panas di bulan Agustus
Udara sangat lembab dan angin tak bertiup
Menyeka dahi ditolaknya lembaran uang
‘Aku dulu di Semarang’
Dengan hormat diucapkannya selamat jalan
Dengan hormat diucapkannya selamat jalan
Ia pun kembali ke setasiun
berbata-bata
Berkaus dan bersepatu putih
Tiba-tiba wajahnya sangat tua
Di kapal kenapa kuingat kakak sepupuku
Di kapal kenapa kuingat kakak sepupuku
Opsir Peta di Jatingaleh berlucut
senjata
Terbunuh dalam pertempuran lima hari
Dua belas tahun yang lalu
Hari itu musim panas di bulan Agustus
Hari itu musim panas di bulan Agustus
Ketika ekspres tengah hari masuk dari
ibukota
Seorang kuli di setasiun Yokohama
Tiba-tiba wajahnya sangat tua.
Pelabuhan Sebelum Pasang
Jika kau bertanya, kesepian, maka lautlah jawabku
Jika kau
menyapa, kesedihan, maka topanlah ujarku
Pelayaran panjang yang mengantarkan
kita
Dalam gelombang benua
Di kuala perairan, ketika malam sangat muda
Di kuala perairan, ketika malam sangat muda
Lentera tiang palka, di ruang makan
dan buritan
Gemetaran dalam garis putus-putus di pelabuhan
Anak arus yang naik
dan turun pelahan
Menjelang pelayaran bila badai berbadai
Menjelang pelayaran bila badai berbadai
Bercurahan bintang di langit bersemu
biru
Gemulung mendung yang menyarankan napas gelombang
Guruh lagumu, wahai
pelayaran yang panjang!
Karena kau bertanya, tiga peluit di tiap pelabuhan
Karena kau bertanya, tiga peluit di tiap pelabuhan
Setiap kita bertolak kembali
mengemas jangkar tali-temali
Adalah jurang-jurang lautan dengan kandil bintang
selatan
Bertetaplah ngembara untuk pelayaran panjang sekali.
Jalan Bukit Bintang
Mata yang sayu memandangmu.
Memandangku
Seorang anak tukang sate pukul duabelas malam
Berumur sebelas dan
bersepatu abu-abu
Dia memandang malam di luar kafe, dia memandangku
Dia
memandangmu
Suara-suara malam metropolitan
Cahaya yang melintas-lintas
Lelaki tua itu, ayahnya, atau pamannya barangkali
Lelaki tua itu, ayahnya, atau pamannya barangkali
Sedang memandamkan bara api
Di depan kafe yang mulai sepi
Ada bayang di jendela flat bermain
Bayang-bayang
hitam, bayang-bayang nyaris ungu
Beberapa garis cahaya natrium
Dan tiga lagu
Mandarin
Lelaki itu menyiram bara api
Berdesis Daun meja kafe dari pualam
Berdesis Daun meja kafe dari pualam
Ada sesuatu jadi, perlahan tengah jalan
Ada
langit. Ada
tambang.
Ada cakar
Bayang berlarian
sepanjang pertokoan
Melompat dari jendela ke jendela
Anak tukang sate itu
membenahi piring
Bayang-bayang beriring-iring
Anak itu menjulurkan lehernya
Lelaki itu mengais bara api
Yang hangus
Dan nyaris mati
Depan kafe sepi
Di
sini.
Fortaleza De Malaca
Ada batu karang, salib hitam di atasnya
Segaris pantai dan
ombak yang memburu
Ada bukit, di bawahnya benteng tua
Melintas pohon melaka
angin pun menderu
Tiada lagi sejarah, mungkin tinggal sidik jari
Tiada lagi sejarah, mungkin tinggal sidik jari
Sejumlah pertempuran dan sekian
nama-nama
Lalu laut lepas, padang-padang rumput membentang
Dan meriam terpasang
depan gereja
Ada batu karang, salib hitam di atasnya
Ada batu karang, salib hitam di atasnya
Segaris pantai dan ombak yang memburu
Ada bukit, benteng tua dalam balada
Melintas pohon melaka angin pun menderu.
Kereta Malam Daratan Asia
Ada yang memburu-buru di belakang kereta malam Thai Express
Ada yang menembus-nembus di antara jutaan dedaunan
Angin meluncur, mersik
gugur, bayang-bayang rawa malam
Serasa bukit-bukit benua
Serasa lewat jembatan
tua
Dentang-dentang suara
Ada yang meloncat-loncat di bantalan rel kereta malam
Ada yang menggores garis sinar di atas kelam
Cahaya tak terjangkau, mungkin sebutir bintang yang dilupakan
Ada bulan lepas sabit, tegak lurus atas
bukit
Tanah-tanah hitam
Padang-padang lalang
Pagoda-pagoda tua
Siul sunyi di
sini…
Burung-burung hutan
Bunyi air terjun
Warna-warna yang hilang
Warna-warna
yang berlarian
Siapa saling mengejar? Kini?
Suara.Warna. Nafas. Cahaya.
Musim
kemarau yang terlampau keras
Telah singgah di sebuah setasiun kecil
Tak jauh
dari danau.
Di barat teluk yang menganga
Penjaja yang meneriakkan jajanan
Penjaja yang meneriakkan jajanan
Debu September yang naik perlahan
Ketika tiga
rahib, berjubah merah muda
Melintas di jalanan
Pecahan-pecahan batu cadas
Sebuah sinyal yang letih
Dan bunyi peluit putih
Ada yang menggariskan jalan
paralel ini
Malam diturunkan, bintang-bintang dipasang dan angin jadi dingin
Bulan lepas sabit pun terbit
Serasa bukit-bukit benua
Serasa lewat jembatan tua
Tanah lalang Padang habis terbakar
Dentang-dentang suara
Dentang-dentang suara
Dan garis cahaya parabola, tipis dan tajam
Mungkin
sebutir bintang yang kulupakan
selama ini Gugus Bimasakti Jewat jendela kayu jati
selama ini Gugus Bimasakti Jewat jendela kayu jati
Meluncurkan angin dingin
Ada
kesunyian memburu di belakang itu dan
aku merasa ingin Menoleh.
aku merasa ingin Menoleh.
Tapi adalah kelam jutaan daunan
Serasa mersik gugur
Serasa di atas rawa malam
Menggaris cahaya parabola
Tipis dan tajam
Tipis dan tajam
Mungkin sebutir bintang yang terlupakan
Selama ini.
Semak-Semak Antena
Siapa itu mengacungkan tangan ke luar jendela
Tingkat
teratas Atmosfir penuh gelombang
Awan di antara antena
Gelombang elektronik,
pita-pita magnetik
Mimpi yang bising
Siapa itu melambaikan tangan di sana
Di
antara jarum-jarum antena
Sebuah getaran, baiklah …
Sia-siakah? Getaran lalu-lintas di bawah
Sia-siakah? Getaran lalu-lintas di bawah
Di sana .
Di antara aturan-aturan kepolisian
Di
antara gasing karburator
Udara daerah industri yang kotor
Dalam kerucut asap
Dan perumahan kotak-kotak
Dan perumahan kotak-kotak
Lelaki setengah usia di beranda
Membaca koran sore
yang mekanis
Penyiar dengan berita otomatis
Hai! Yang melambaikan tangan itu! Hai!
Hai! Yang melambaikan tangan itu! Hai!
Panmunjom , Musim Panas 1970
Korea, semenanjung itu, matanya terpejam
Silau musim panas dari matahari ia membaring, memanjang pada salah satu tulang rusuknya,
melintang dan menggelombang melintas bukit
demi bukit yang berumput kering yang berkawat duri bagaikan sirip
lumba-lumba yang berenang
diam-diam di atas rumputan kering di atas lautan semak
demi bukit yang berumput kering yang berkawat duri bagaikan sirip
lumba-lumba yang berenang
diam-diam di atas rumputan kering di atas lautan semak
tidak ada suara tidak
ada lalu lintas
tidak ada kanak-kanak tidak ada gerobak air
tidak ada pemandangan desa inilah bukit-bukit yang termashyur itu bukit-bukit kubur yang
ada
adalah sepotong perut semenanjung dan cuaca di antaranya
ternyata tidak dapat kita menentukan segala-galanya
di sini sengketa
yang pernah membakar sumbu-sumbu logam dan lalu berpijaran
melompat dari satu bukit ke bukit lainnya
telah agak padam dan bersembunyi di antara rumput-rumput kering
dan menyelinap di antara semak-semak liar
atau bertengger jadi segumpal kanker pada sebatang pohon kastanye
di puncak sebuah bukit di sana
dan, di belakangnya adalah sungai dengan warna air sedikit keruh
saat ini semua diam
ada juga sesekali
margasatwa berbunyi
ataukah sedikit bernyanyi? tidak kukenal nama serangga itu tentunya dia akan keluar dari sarang musim-dinginnya, mengibas-ngibaskan sayapnya yang bagaikan kertas plastik, mengusap-ngusapkannya pada kakinya yang beruas-ruas dan mungkin sekali mengeluarkan bunyi yang aneh dari gesekan itu atau dari tali tenggorok
mungkin begitu mereka tentunya berjuta-juta di tanah ini lepas musim semi dan sebelumnya musim dingin yang kejam, sepatutnya di bulan Juli ini, pada siang ini mengeluarkan serempak bunyi yang bisa amat dahsyat
inilah angan-angan yang tidak sepantasnya terjadi siang hari siang ini
karena langit amat bersih cuaca 80 serta lembab dan di kawasan tak bertuan ini jalannya tanah, berdebu sedikit merah dan bisa mengepul
ketika dua orang anak muda itu mengenakan jaket tahan peluru mencoba membunyikan mesin jipnya sementara di lereng sana beberapa orang mengawasi ada yang mencangkung di gardu demarkasi
tidak kukenal nama-nama mereka tentunya mereka ketika keluar dari barak-barak musim-dingin, mengibas-ngibaskan lengan dan urat-urat pinggang yang pegal, menggosok-gosok corong-corong baja mereka dan mungkin sekali pernah menge-luarkan bunyi yang aneh itu dari picu-picu atau tidak seimbangnya komposisi bubuk mesiu
mungkin begitu mereka tentunya berpuluh-beratus-ribu di tanah ini
lepas musim semi, lepas musim dingin yang kejam dan menjelang musim rontok di padang lepas berbukit-bukit ini berpandang-pandangan dalam diam yang bisa akibatnya jadi amat dahsyat
inilah angan-angan yang tidak sepantasnya terjadi
inilah pilem-pilem tua yang tidak layak diputar lagi siang hari siang ini
sementera langit amat bersih lembab musimpanas yang pengap di atas sepotong tanah semenanjung di bawah setangkup langit demarkasi yang mengawasi bukit-bukit yang
menggelombung dan kering di sana-sini sedikit hijau
semak-semak liar
dengan kuntum-kuntum alit dan kabut jauh yang agak biru di sini kesunyian mengenalkan dirinya
dengan suasana sedikit tajam dan papan-papan penunjuk yang huruf-hurufnya terlalu persegi serta hitam, agak luntur mengenai divisi kedua
tetapi di manakah kawanan burung-burung itu yang layaknya berterbangan dalam formasi atau campur-baur seperti di katulistiwa dan sayap-sayap mereka yang sebentar nampak sebentar hilang atau semacam elang yang mengapung bagaikan menggantung dalam gerakan yang hampir tanpa gerakan tetapi di manakah kawanan itu sekarang di atas bukit-bukit di bawah setangkup langit awan pun tiada langit pun bagai baki perak yang menyilaukan terlalu polos adanya lengang ini terasa
tajam
amat sehabis peperangan udara dengan unggas-unggas logam yang bisa
menjerit-jerit garang dan mencecerkan ledakan
ledakan luarbiasa dengan asap
asap dan kerusakan-kerusakan yang matematis
dan putus-putuslah siklus biologi ini karena sirkulasi darah dipotong-potong, sistim tulang dan saraf diobrak-abrik, silsilah pohon keluarga ditebang-tebang, panen biji-bijian dan buah-buahan dirusak, migrasi burung-burung jadi kacau, air minum bau kelong-song dan air mata dan air mata …
tapi sudah itu
… angin …
kini pun
nampaknya ada sedikit angin
lewat rendah, membuat garis-garis lengkung pada pohon nue tee
di pundak bukit itu
dan juga di lerengnya
pada punggung akarnya dan
di dalam ketiak daun-daun
pasti ada unggas kecil berteduh
serta beberapa insekta, yang
menyiapkan bunyi-bunyian untuk beberapa jam lagi bila malam turun
tentunya juga beberapa hewan bersayap rapuh
yang bisa menyalakan lampu fosfor alit
di badannya, sedang istirahat untuk penerbangan sebentar malam
mereka tengah membenahi sarang-sarang
kecil di kulit-kulit kayu
sementara angin sore yang enggan
begitu saja membentuk garis-garis lengkung
lewat semak-semak liar menggelombang sepanjang barangkali 240 kilometer dan singgah di setiap check-point, sekali pun check-point
yang paling sepi dan paling dikhawatiri…
dan sebuah truk menderum
dan mengipaskan debu
pada sebuah lembah ini suatu komposisi yang agak aneh tetapi pasti ada saat itu beberapa serdadu yang jemu memikirkan tentang bunyi-bunyian gitar, transistor saku atau bunyi kelamin
beberapa jam lagi
bila malam turun
pada kedua sisi
perbatasan, yang lebar
empa tribu meter dan Korea, semenanjung itu, matanya terpejam mengantuk pada
malam musimpanas
dengan sebuah bulan
yang sempurna bulatnya
dan menguraikan benang-benang
sutera cahayanya
yang berserak
pada bukit-bukit
yang termasyhur itu
sementara
tunggul
sebatang
pohon kastanye ingat pada peluru-peluru sinyal cahaya dua puluh tahun yang lalu.
ternyata tidak dapat kita menentukan segala-galanya
di sini sengketa
yang pernah membakar sumbu-sumbu logam dan lalu berpijaran
melompat dari satu bukit ke bukit lainnya
telah agak padam dan bersembunyi di antara rumput-rumput kering
dan menyelinap di antara semak-semak liar
atau bertengger jadi segumpal kanker pada sebatang pohon kastanye
di puncak sebuah bukit di sana
dan, di belakangnya adalah sungai dengan warna air sedikit keruh
saat ini semua diam
ada juga sesekali
margasatwa berbunyi
ataukah sedikit bernyanyi? tidak kukenal nama serangga itu tentunya dia akan keluar dari sarang musim-dinginnya, mengibas-ngibaskan sayapnya yang bagaikan kertas plastik, mengusap-ngusapkannya pada kakinya yang beruas-ruas dan mungkin sekali mengeluarkan bunyi yang aneh dari gesekan itu atau dari tali tenggorok
mungkin begitu mereka tentunya berjuta-juta di tanah ini lepas musim semi dan sebelumnya musim dingin yang kejam, sepatutnya di bulan Juli ini, pada siang ini mengeluarkan serempak bunyi yang bisa amat dahsyat
inilah angan-angan yang tidak sepantasnya terjadi siang hari siang ini
karena langit amat bersih cuaca 80 serta lembab dan di kawasan tak bertuan ini jalannya tanah, berdebu sedikit merah dan bisa mengepul
ketika dua orang anak muda itu mengenakan jaket tahan peluru mencoba membunyikan mesin jipnya sementara di lereng sana beberapa orang mengawasi ada yang mencangkung di gardu demarkasi
tidak kukenal nama-nama mereka tentunya mereka ketika keluar dari barak-barak musim-dingin, mengibas-ngibaskan lengan dan urat-urat pinggang yang pegal, menggosok-gosok corong-corong baja mereka dan mungkin sekali pernah menge-luarkan bunyi yang aneh itu dari picu-picu atau tidak seimbangnya komposisi bubuk mesiu
mungkin begitu mereka tentunya berpuluh-beratus-ribu di tanah ini
lepas musim semi, lepas musim dingin yang kejam dan menjelang musim rontok di padang lepas berbukit-bukit ini berpandang-pandangan dalam diam yang bisa akibatnya jadi amat dahsyat
inilah angan-angan yang tidak sepantasnya terjadi
inilah pilem-pilem tua yang tidak layak diputar lagi siang hari siang ini
sementera langit amat bersih lembab musimpanas yang pengap di atas sepotong tanah semenanjung di bawah setangkup langit demarkasi yang mengawasi bukit-bukit yang
menggelombung dan kering di sana-sini sedikit hijau
semak-semak liar
dengan kuntum-kuntum alit dan kabut jauh yang agak biru di sini kesunyian mengenalkan dirinya
dengan suasana sedikit tajam dan papan-papan penunjuk yang huruf-hurufnya terlalu persegi serta hitam, agak luntur mengenai divisi kedua
tetapi di manakah kawanan burung-burung itu yang layaknya berterbangan dalam formasi atau campur-baur seperti di katulistiwa dan sayap-sayap mereka yang sebentar nampak sebentar hilang atau semacam elang yang mengapung bagaikan menggantung dalam gerakan yang hampir tanpa gerakan tetapi di manakah kawanan itu sekarang di atas bukit-bukit di bawah setangkup langit awan pun tiada langit pun bagai baki perak yang menyilaukan terlalu polos adanya lengang ini terasa
tajam
amat sehabis peperangan udara dengan unggas-unggas logam yang bisa
menjerit-jerit garang dan mencecerkan ledakan
ledakan luarbiasa dengan asap
asap dan kerusakan-kerusakan yang matematis
dan putus-putuslah siklus biologi ini karena sirkulasi darah dipotong-potong, sistim tulang dan saraf diobrak-abrik, silsilah pohon keluarga ditebang-tebang, panen biji-bijian dan buah-buahan dirusak, migrasi burung-burung jadi kacau, air minum bau kelong-song dan air mata dan air mata …
tapi sudah itu
… angin …
kini pun
nampaknya ada sedikit angin
lewat rendah, membuat garis-garis lengkung pada pohon nue tee
di pundak bukit itu
dan juga di lerengnya
pada punggung akarnya dan
di dalam ketiak daun-daun
pasti ada unggas kecil berteduh
serta beberapa insekta, yang
menyiapkan bunyi-bunyian untuk beberapa jam lagi bila malam turun
tentunya juga beberapa hewan bersayap rapuh
yang bisa menyalakan lampu fosfor alit
di badannya, sedang istirahat untuk penerbangan sebentar malam
mereka tengah membenahi sarang-sarang
kecil di kulit-kulit kayu
sementara angin sore yang enggan
begitu saja membentuk garis-garis lengkung
lewat semak-semak liar menggelombang sepanjang barangkali 240 kilometer dan singgah di setiap check-point, sekali pun check-point
yang paling sepi dan paling dikhawatiri…
dan sebuah truk menderum
dan mengipaskan debu
pada sebuah lembah ini suatu komposisi yang agak aneh tetapi pasti ada saat itu beberapa serdadu yang jemu memikirkan tentang bunyi-bunyian gitar, transistor saku atau bunyi kelamin
beberapa jam lagi
bila malam turun
pada kedua sisi
perbatasan, yang lebar
empa tribu meter dan Korea, semenanjung itu, matanya terpejam mengantuk pada
malam musimpanas
dengan sebuah bulan
yang sempurna bulatnya
dan menguraikan benang-benang
sutera cahayanya
yang berserak
pada bukit-bukit
yang termasyhur itu
sementara
tunggul
sebatang
pohon kastanye ingat pada peluru-peluru sinyal cahaya dua puluh tahun yang lalu.
Musim Gugur Telah Turun di Rusia
Seekor burung raksasa pada suatu malam cuaca mengembangkan
sayapnya yang perkasa mengibas-ngibaskannya gemuruh dan lena maka rontoklah
bulu beledru di langit tua dan biru gugur dan gugur melayang dan berbaur
Musim gugur telah turun di Rusia
Berjuta bintik kapas warna putih angsa pada suatu malam cuaca naik mengembang bersama dan menggeliatlah dia menggelepar menyerakkan warna dan aroma
Musim panas melayang di atas Rusia
Dengan malasnya burung itu terbang sayapnya mengibaskan angin agak dingin daun-daun beriozka jadi berganti warna burung raksasa tiba di atas kutub utara dia berkaca sekilas di laut terus melayang ke bagian bumi yang lain seraya membagi-bagikan angin yang agak dingin
Musim gugur telah turun di Rusia.
Musim gugur telah turun di Rusia
Berjuta bintik kapas warna putih angsa pada suatu malam cuaca naik mengembang bersama dan menggeliatlah dia menggelepar menyerakkan warna dan aroma
Musim panas melayang di atas Rusia
Dengan malasnya burung itu terbang sayapnya mengibaskan angin agak dingin daun-daun beriozka jadi berganti warna burung raksasa tiba di atas kutub utara dia berkaca sekilas di laut terus melayang ke bagian bumi yang lain seraya membagi-bagikan angin yang agak dingin
Musim gugur telah turun di Rusia.
Sapi Daging Peternakan Brenton
Inilah pabrik daging yang hidup
Inilah sebuah sistim
Matahari musim rontok bersinar
Tanahnya landai, lumpurnya subur
Dua ratus meter persegi tai sapi dalamnya satu dengkul
Mata rantai produksi kali ini
Adalah kandang-kadang sapi daging Peternakan Brenton
Dua ribu sapi menguak sekali gus
Dalam persatuan yang mengharukan
Suara mereka adalah
Ilustrasi padang-padang jagung
Tanah yang landai
Lumpur yang subur
Tangki air sembilan ribu galon
Kamar pengaduk makanan
Timbangan 5000 kilo
Kantor catatan kelahiran buku hitung dagang
Dan bau serbuk manis
Melayang bersama
Tepung jagung
Hinggap pada suara
Dua ribu sapi menguak sekali gus
Dalam persatuan yang mengharukan
Matahari bersinar miring
Masuk celah peredaran udara
Klinik sapi
Hai!
Para pasien leptospira dan diarrea
Si gemuk ternak penjara Iowa Beef Packers akan memperinci kalian
Industri ke seluruh negeri
Perusahaan pengalengan
Dan advertensi penuh fantasi!
Lewat pejagalan
Dua ribu sapi menguak sekali gus
Dalam persatuan yang mengharukan
Suara mereka adalah
Ilustrasi padang-padang jagung
Tanah yang landai
Lumpur yang subur
Bau sirup yang manis
Debu tepung jagung
Inilah pabrik daging yang hidup
Inilah sebuah sistim
Matahari musim rontok bersinar
Di atap kandang-kandang
Peternakan sapi daging Kepunyaan Brenton.
Inilah sebuah sistim
Matahari musim rontok bersinar
Tanahnya landai, lumpurnya subur
Dua ratus meter persegi tai sapi dalamnya satu dengkul
Mata rantai produksi kali ini
Adalah kandang-kadang sapi daging Peternakan Brenton
Dua ribu sapi menguak sekali gus
Dalam persatuan yang mengharukan
Suara mereka adalah
Ilustrasi padang-padang jagung
Tanah yang landai
Lumpur yang subur
Tangki air sembilan ribu galon
Kamar pengaduk makanan
Timbangan 5000 kilo
Kantor catatan kelahiran buku hitung dagang
Dan bau serbuk manis
Melayang bersama
Tepung jagung
Hinggap pada suara
Dua ribu sapi menguak sekali gus
Dalam persatuan yang mengharukan
Matahari bersinar miring
Masuk celah peredaran udara
Klinik sapi
Hai!
Si gemuk ternak penjara Iowa Beef Packers akan memperinci kalian
Industri ke seluruh negeri
Perusahaan pengalengan
Dan advertensi penuh fantasi!
Lewat pejagalan
Dua ribu sapi menguak sekali gus
Dalam persatuan yang mengharukan
Suara mereka adalah
Ilustrasi padang-padang jagung
Tanah yang landai
Lumpur yang subur
Bau sirup yang manis
Debu tepung jagung
Inilah pabrik daging yang hidup
Inilah sebuah sistim
Matahari musim rontok bersinar
Di atap kandang-kandang
Peternakan sapi daging Kepunyaan Brenton.
Bola Berguling di Bawah Panas Matahari
Di antara orang-orang baik hati duduk pencopet dalam
kendaraan ini
Agama telah dijadikan bus tua
Yang mencari penumpang
sebanyak-banyaknya
Bus jalan.
Bus jalan.
Debu berkibar
Pada suatu sore orang melempar senjata ke tengah jalan
Dan ada lagu mars Pemadam Kebakaran
Bola berguling di bawah panas matahari
Percintaan adalah nasib yang aneh
Bola berguling di bawah panas matahari
Percintaan adalah nasib yang aneh
Hutan jati ketika rontok daun
Dekat pantai
lagi surut
Kanak-kanak main berkejaran
Bola berguling di bawah panas matahari
Bus jalan.
Bola berguling di bawah panas matahari
Bus jalan.
Lewat jaringan lalu lintas
Pada suatu pagi aku memejam Teluk San
Francisco, Laut Jawa dan Mediterania
Kemudian sebuah lepau nasi
Orang tua baru
selesai dengan mangkuk kahwanya
Dia jalan, pergi, hari masih agak pagi
Di atas
ada hutan pina
Sawah biasa, ladang lobak dan kebun tebu
Tempat berburu babi
Bola berguling di bawah panas matahari
Medan maknit sepanjang rel kereta api
Bola berguling di bawah panas matahari
Medan maknit sepanjang rel kereta api
Bintang terhampar di tempayan langit
Bagai sulaman bintik-bintik cahaya
Atas Padang Giring Giring, atas St.
Petersburg lena
Bus jalan.
Seorang kanak bercelana pendek
Membawa album hitam
Di tepi jalan kota
kecil
Ke muara pelabuhan
Bola berguling di bawah panas matahari
Bus jalan.
Bola berguling di bawah panas matahari
Bus jalan.
Banyak debu di warung orang Vietnam
Dan Bur mengangkat gelasnya
Pada
sore Savannakhet yang sedikit aneh
Kejutan tangis, daratan pengungsi dan
amunisi
Bola matahari telah meneteskan sejuta bom
Aku menangisimu, dan
kuacungkan tinju
Pada matahari yang pijar
Hidupku serasa bergolek di atas
sutera Siam
Seraya menulis sajak-sajak percuma
Bila mengingatmu
Bola berguling di bawah panas matahari
Alabama, Alabama
Bola berguling di bawah panas matahari
Alabama, Alabama
Bunyikan lagu biru yang agak ngilu
Duka yang terpental-pental
Alabama
Bus jalan.
Chicago muntah
Dan menyiarkan lumpur salju yang hitam
Sebuah
kuburan mobil memanggil-manggil
Mengembuskan asam karbon tanpa warna
Dan
Malcolm X menundingkan telunjuknya
Bola berguling di bawah panas matahari
Adalah percuma
Bola berguling di bawah panas matahari
Adalah percuma
Menjahit padang pasir
Dengan menara-menara tambang minyak
Bola berguling di bawah panas matahari
Dan kepada Joseph Richard Smith Maharesi 14 tahun itu berkata:‘Teruskanlah kalimat ini, Joe:Jiwamu termaktub dalam iklan-iklan
Bola berguling di bawah panas matahari
Dan kepada Joseph Richard Smith Maharesi 14 tahun itu berkata:‘Teruskanlah kalimat ini, Joe:Jiwamu termaktub dalam iklan-iklan
Lalu…’Dan berkatalah Joe
Smith:‘Jiwaku termaktub dalam iklan-iklan
Dan iklan-iklanku tanpa jiwa’
Bola berguling di bawah panas matahari
Alabama, Alabama
Bola berguling di bawah panas matahari
Alabama, Alabama
Bunyikan lagu biru yang ngilu
Duka hitam terpental-pental
Alabama
Bola berguling di bawah panas matahari
Bus jalan.
Bola berguling di bawah panas matahari
Bus jalan.
Debu berkibar
Dekat pangkalan pedati
Anak itu menendang sedikit keras
Dekat pangkalan pedati
Anak itu menendang sedikit keras
Dan bola berguling
Di bawah panas Matahari.
Trem Berklenengan di Kota San Francisco
Pagimu yang cerah, San Francisco, sampai padaku di atas
bukit itu, lautmu bagai bubur agar-agar, uap air di langitmu mencecerkan serbuk
kabut seperti tepung nilon dan terjela-jela sepanjang jembatan raksasamu tepat
seperti kartu pos bergambar yang pernah kubeli di kedai Hindustan duapuluh
empat tahun yang silam di Geylang Road ketika aku masih bercelana pendek dan
asyik menghafalkan nama-nama hebat dengan huruf-huruf c, v, x, dan y pada
pelajaran ilmu bumi di Sekolah Rakyat partikelir.
Matahari terlalu gembira menyinari bukit-bukitmu. Bukit-bukit yang ditumbuhi rumah-rumah Eropah, Meksiko, Habsyi dan Cina, bercat putih beratap merah tua dengan bunga-bungaan yang mekar karena persekutuan akrab dengan musim semi bagai tak kunjung habisnya. Debu segan padamu. Kotoran mekanika dan asam arang kau serahkan sepenuhnya padaLos
Angeles si buruk muka. Dia cemburu padamu.
Pasar buah dan rempah-rempah. Trem berklenengan dan meluncur gila pada penurunan bukit-bukit sama-kaki yang sempit. Sebuah peti cat meledak di udara dan warna-warna pun dibagi-bagi pada deretan ba-ngunan dinding tremkota , tulang jembatan,
atap, pintu dan jendela. Angin mengeringkannya dan mengaduknya dengan aroma
daun-daun perladangan jeruk serta uap perairan dermaga lalu dikibas-kibaskan
oleh sayap kawanan burung camar mengatasi muara lautan.
Percintaan bulan dengan lekuk-lekuk tubuhmu semacam percintaan anak-anak muda yang garang kemudian dilukiskan oleh pelukis-pelukis kubistis. Emas yang diburu-buru abad yang lalu dilambangkan dalam cahaya natrium, amat geometris. Lewat tingkap-tingkap dan pipa-pipa kaca, simetris dan tidak simetris. Kapal-kapal angkat jangkar.
Di ujung meja panjang terbuat dari kayu mahoni pada suatu bar dekatMarket Street
seorang tua berambut putih berkumis putih berjanggut putih duduk di atas kursi
plastik yang bentuknya seperti bom waktu. “Aku tidak dengar Amerika menyanyi
lagi”, ujarnya. Pelayan bar memberinya segelas bir.
Amerika tidak menyanyi lagi. Amerika mengerang.
Di atas bar kayu mahoni berlapis formika hampir biru muda, padang-padang Texas ke tengah, New York berhamburan ke dalam Grand Canyon, Niagara mengental, California tergulung-gulung. Walt Whit-man memeras Amerika bagai sehelai karbon bekas, dan si tua itu me-nuangkan birMilwaukee
berbusa ke atasnya.
Amerika mengeluarkan bunyi kerupuk kentang kering Yang dikunyah lambat-lambat
Camar-camar teluk San Francisco melayang di atas kedai-kedai bunga tulip, menelisik jaringan kawat trem-trem yang berkenengan dan buang air tepat di atas kantor asuransi.
Selamat jalan c
Selamat jalan v
Selamat jalan x
Selamat jalan y
Selamat jalan.
Matahari terlalu gembira menyinari bukit-bukitmu. Bukit-bukit yang ditumbuhi rumah-rumah Eropah, Meksiko, Habsyi dan Cina, bercat putih beratap merah tua dengan bunga-bungaan yang mekar karena persekutuan akrab dengan musim semi bagai tak kunjung habisnya. Debu segan padamu. Kotoran mekanika dan asam arang kau serahkan sepenuhnya pada
Pasar buah dan rempah-rempah. Trem berklenengan dan meluncur gila pada penurunan bukit-bukit sama-kaki yang sempit. Sebuah peti cat meledak di udara dan warna-warna pun dibagi-bagi pada deretan ba-ngunan dinding trem
Percintaan bulan dengan lekuk-lekuk tubuhmu semacam percintaan anak-anak muda yang garang kemudian dilukiskan oleh pelukis-pelukis kubistis. Emas yang diburu-buru abad yang lalu dilambangkan dalam cahaya natrium, amat geometris. Lewat tingkap-tingkap dan pipa-pipa kaca, simetris dan tidak simetris. Kapal-kapal angkat jangkar.
Di ujung meja panjang terbuat dari kayu mahoni pada suatu bar dekat
Amerika tidak menyanyi lagi. Amerika mengerang.
Di atas bar kayu mahoni berlapis formika hampir biru muda, padang-padang Texas ke tengah, New York berhamburan ke dalam Grand Canyon, Niagara mengental, California tergulung-gulung. Walt Whit-man memeras Amerika bagai sehelai karbon bekas, dan si tua itu me-nuangkan bir
Amerika mengeluarkan bunyi kerupuk kentang kering Yang dikunyah lambat-lambat
Camar-camar teluk San Francisco melayang di atas kedai-kedai bunga tulip, menelisik jaringan kawat trem-trem yang berkenengan dan buang air tepat di atas kantor asuransi.
Selamat jalan c
Selamat jalan v
Selamat jalan x
Selamat jalan y
Selamat jalan.
Petatah Petitih Baru
Mata
Gajah di seberang lautan tak tampak
Gajah di seberang lautan tak tampak
Kuman di pelupuk mata juga tak tampak
Humas
Menepuk air di dulang
Humas
Menepuk air di dulang
Tepercik ke muka sendiri
Kemudian dilap dengan press
release
Ekonomi
Sesal dahulu pendapatan
Ekonomi
Sesal dahulu pendapatan
Sesal kemudian pengeluaran
Pendidikan
Guru kencing berdiri
Pendidikan
Guru kencing berdiri
Murid mengencingi guru
Hujan
Air hujan turunnya ke cucuran atap
Hujan
Air hujan turunnya ke cucuran atap
Kalau banjir atapnya yang turun ke air
Nasionalisme
Hujan batu di negeri orang
Nasionalisme
Hujan batu di negeri orang
Hujan emas di negeri sendiri
Lebih enak di negeri
sendiri
Penderitaan
Berakit-rakit ke hulu
Penderitaan
Berakit-rakit ke hulu
Berenang-renang ke tepian
Bersakit-sakit dahulu
Bersakit-sakit berkepanjangan
PBB
Duduk sama rendah
PBB
Duduk sama rendah
Berdiri lain-lain tingginya
Gunung Api
Maksud hati memeluk gunung
Gunung Api
Maksud hati memeluk gunung
Apa daya gunungnya meletus
Pers
Buruk muka pers dibelah.
Pers
Buruk muka pers dibelah.
Bagaimana Kalau
Bagaimana kalau dulu bukan khuldi yang dimakan Adam, tetapi
buah alpukat
Bagaimana kalau bumi bukan bulat, tapi segi empat
Bagaimana kalau lagu Indonesia Raya kita rubah, dan kepada Koes Plus kita beri mandat
Bagaimana kalau ibukota Amerika Hanoi, dan ibukota Indonesia Monaco
Bagaimana kalau malam nanti jam sebelas, salju turun di Gunung Sahari
Bagaimana kalau bisa dibuktikan bahwa Ali Murtopo, Ali Sadikin dan Ali Wardhana ternyata pengarang-pengarang lagu pop
Bagaimana kalau hutang-hutang Indonesia dibayar dengan pementasan Rendra
Bagaimana kalau segala yang kita angankan terjadi, dan segala yang terjadi pernah kita rancangkan
Bagaimana kalau akustik dunia jadi demikian sempurnanya sehingga di kamar tidur kau sampai deru bom Vietnam, gemersik sejuta kaki pengungsi, gemuruh banjir dan gempa bumi serta suara-suara percintaan anak muda, juga bunyi industri presisi dan margasatwa Afrika
Bagaimana kalau pemerintah diizinkan protes dan rakyat kecil mempertimbangkan protes itu
Bagaimana kalau kesenian dihentikan saja sampai di sini dan kita pelihara ternak sebagai pengganti
Bagaimana kalau sampai waktunya kita tidak perlu bertanya bagaimana lagi.
Bagaimana kalau bumi bukan bulat, tapi segi empat
Bagaimana kalau lagu Indonesia Raya kita rubah, dan kepada Koes Plus kita beri mandat
Bagaimana kalau ibukota Amerika Hanoi, dan ibukota Indonesia Monaco
Bagaimana kalau malam nanti jam sebelas, salju turun di Gunung Sahari
Bagaimana kalau bisa dibuktikan bahwa Ali Murtopo, Ali Sadikin dan Ali Wardhana ternyata pengarang-pengarang lagu pop
Bagaimana kalau hutang-hutang Indonesia dibayar dengan pementasan Rendra
Bagaimana kalau segala yang kita angankan terjadi, dan segala yang terjadi pernah kita rancangkan
Bagaimana kalau akustik dunia jadi demikian sempurnanya sehingga di kamar tidur kau sampai deru bom Vietnam, gemersik sejuta kaki pengungsi, gemuruh banjir dan gempa bumi serta suara-suara percintaan anak muda, juga bunyi industri presisi dan margasatwa Afrika
Bagaimana kalau pemerintah diizinkan protes dan rakyat kecil mempertimbangkan protes itu
Bagaimana kalau kesenian dihentikan saja sampai di sini dan kita pelihara ternak sebagai pengganti
Bagaimana kalau sampai waktunya kita tidak perlu bertanya bagaimana lagi.
Engkaukah Itu, Yang Berdiri Ditikungan Itu
Pada saat penyeberangan sesudah makan siang, lepas pantai
Gilimanuk, kulihat kau bersandar di sana sepuluh tahun yang silam, pohon-pohon
palma di belakangmu
Ada suatusaat di Margomulyo, sehabis sore Yogya dengan kuku burung balam mengantar malam, awan dan cahaya sama tenggelam
Berlayar di lautan Jawa dan Hindia, panggilan peluit uap cerobong asap dan lemparan tali sisal, tak sampai mencapai pantai
Berdiri di pojok lapangan Banteng sebelum ada terminal, engkau me-lintas sepintas serasa tidak aku kau kenal, kemudian kita naik oplet tua Willys tahun lima dua
Engkaukah itu depan warung desa Ayuthya, di pojok Metro Trocadero, di antara rak-rak buku toko Atheneo, di kampus pedalaman Indonesia yang bentuknya seperti gudang-gudang sederhana
Aku mencatatnya semua dan melupakannya semua, ketika makan masakan Szechwan yang lezat citarasanya atau ketika bersama misi militer, berdiri memandang padang-padang perbatasan negara yang dibagi dua, selatan dan utara
Para pengemis Colombo, Weleri, Marble Arch Underground, depan museum Tashkent, Ginza, pasar Senen Lama, Fifth Avenue, kalian semua membikin hatiku ngilu, tapi sekali gus menyin-dirku, bahwa sebenarnya daku juga pengemis kehidupan, dalam ukuran tertentu
Aku mencatatmu dan mencoba melupakanmu
Adalah perpustakaan, kuburan dan rumah yatim piatu yang amat dalam mencekamku, ke mana pun aku pergi kucoba menjenguk jendela dan pagarmu, adakah engkau di situ dan selintas, engkau ada di situ
Pagi ini aku sarapan agak banyak, waktuku adalah ujung musim semi dan pangkal musim panas, losmenku Stanhope Place nomor 4, telepon 01-262-4070, kamarku seharga dua paun tambah pelayanan sepuluh persen
Berdiri di West End memikirkan poster-poster teater, suara-suara orang Italia menjajakan hamburger dengan saus tomat, engkau pun lewat, berjalan satu tikungan dan berdiri depan sebuah boutique lalu kita menatap model dasi serta baju berwarnawarna gila dan biru tua
Restoran Aljazair itu amat lezat, sup ikan Paris luar biasa dan masakan Kanton adalah makanan raja-raja, namun aku rindu juga lepau nasi Padang dan warung tongseng Jawa yang bukan main lambannya, karena mungkin engkau, ada di sana
Engkau campur-baur dan seringkali kabur, namun aku mencatatmu, untuk rindu dan lalu kucoba, melupakanmu.
Ada suatusaat di Margomulyo, sehabis sore Yogya dengan kuku burung balam mengantar malam, awan dan cahaya sama tenggelam
Berlayar di lautan Jawa dan Hindia, panggilan peluit uap cerobong asap dan lemparan tali sisal, tak sampai mencapai pantai
Berdiri di pojok lapangan Banteng sebelum ada terminal, engkau me-lintas sepintas serasa tidak aku kau kenal, kemudian kita naik oplet tua Willys tahun lima dua
Engkaukah itu depan warung desa Ayuthya, di pojok Metro Trocadero, di antara rak-rak buku toko Atheneo, di kampus pedalaman Indonesia yang bentuknya seperti gudang-gudang sederhana
Aku mencatatnya semua dan melupakannya semua, ketika makan masakan Szechwan yang lezat citarasanya atau ketika bersama misi militer, berdiri memandang padang-padang perbatasan negara yang dibagi dua, selatan dan utara
Para pengemis Colombo, Weleri, Marble Arch Underground, depan museum Tashkent, Ginza, pasar Senen Lama, Fifth Avenue, kalian semua membikin hatiku ngilu, tapi sekali gus menyin-dirku, bahwa sebenarnya daku juga pengemis kehidupan, dalam ukuran tertentu
Aku mencatatmu dan mencoba melupakanmu
Adalah perpustakaan, kuburan dan rumah yatim piatu yang amat dalam mencekamku, ke mana pun aku pergi kucoba menjenguk jendela dan pagarmu, adakah engkau di situ dan selintas, engkau ada di situ
Pagi ini aku sarapan agak banyak, waktuku adalah ujung musim semi dan pangkal musim panas, losmenku Stanhope Place nomor 4, telepon 01-262-4070, kamarku seharga dua paun tambah pelayanan sepuluh persen
Berdiri di West End memikirkan poster-poster teater, suara-suara orang Italia menjajakan hamburger dengan saus tomat, engkau pun lewat, berjalan satu tikungan dan berdiri depan sebuah boutique lalu kita menatap model dasi serta baju berwarnawarna gila dan biru tua
Restoran Aljazair itu amat lezat, sup ikan Paris luar biasa dan masakan Kanton adalah makanan raja-raja, namun aku rindu juga lepau nasi Padang dan warung tongseng Jawa yang bukan main lambannya, karena mungkin engkau, ada di sana
Engkau campur-baur dan seringkali kabur, namun aku mencatatmu, untuk rindu dan lalu kucoba, melupakanmu.
Kembalikan Indonesia PadaKu
Hari depan Indonesia adalah dua ratus juta mulut yang
menganga
Hari depan Indonesia adalah bola-bola lampu 15 wat, sebagian berwarna putih dan sebagian hitam, yang menyala bergantian
Hari depan Indonesia adalah pertandingan pingpong siang malam dengan bola yang bentuknya seperti telur angsa
Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang tenggelam karena seratus juta penduduknya
Kembalikan Indonesia Padaku
Hari depan Indonesia adalah satu juta orang main pingpong siang malam dengan bola telur angsa di bawah sinar lampu 15 wat
Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang pelan-pelan tenggelam lantaran berat bebannya kemudian angsa-angsa berenangrenang di atasnya
Hari depan Indonesia adalah dua ratus juta mulut yang menganga, dan di dalam mulut itu ada bola-bola lampu 15 wat, sebagian putih dan sebagian hitam, yang menyala bergantian
Hari depan Indonesia adalah angsa-angsa putih yang berenang-renang sambil main pingpong di atas pulau Jawa yang tenggelam dan mem-bawa seratus juta bola lampu 15 wat ke dasar lautan
Kembalikan Indonesia Padaku
Hari depan Indonesia adalah pertandingan pingpong siang malam dengan bola yang bentuknya seperti telur angsa
Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang tenggelam karena seratus juta penduduknya
Hari depan Indonesia adalah bola-bola lampu 15 wat, sebagian berwarna putih dan sebagian hitam, yang menyala bergantian
Kembalikan Indonesia Padaku
Hari depan Indonesia adalah bola-bola lampu 15 wat, sebagian berwarna putih dan sebagian hitam, yang menyala bergantian
Hari depan Indonesia adalah pertandingan pingpong siang malam dengan bola yang bentuknya seperti telur angsa
Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang tenggelam karena seratus juta penduduknya
Kembalikan Indonesia Padaku
Hari depan Indonesia adalah satu juta orang main pingpong siang malam dengan bola telur angsa di bawah sinar lampu 15 wat
Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang pelan-pelan tenggelam lantaran berat bebannya kemudian angsa-angsa berenangrenang di atasnya
Hari depan Indonesia adalah dua ratus juta mulut yang menganga, dan di dalam mulut itu ada bola-bola lampu 15 wat, sebagian putih dan sebagian hitam, yang menyala bergantian
Hari depan Indonesia adalah angsa-angsa putih yang berenang-renang sambil main pingpong di atas pulau Jawa yang tenggelam dan mem-bawa seratus juta bola lampu 15 wat ke dasar lautan
Kembalikan Indonesia Padaku
Hari depan Indonesia adalah pertandingan pingpong siang malam dengan bola yang bentuknya seperti telur angsa
Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang tenggelam karena seratus juta penduduknya
Hari depan Indonesia adalah bola-bola lampu 15 wat, sebagian berwarna putih dan sebagian hitam, yang menyala bergantian
Kembalikan Indonesia Padaku
Aku Ingin Menulis Puisi, Yang
Aku ingin menulis puisi, yang tidak semata-mata berurusan
dengan cuaca, warna, cahaya, suara dan mega.
Aku ingin menulis syair untuk kanak-kanak yang melompat-lompat di pekarangan sekolah, yang main gundu dan petak umpet di halaman rumah, yang menangis karena tidak naik kelas tahun ini.
Aku ingin menulis puisi yang membuat orang berumur 55 tahun merasa 25, yang berumur 24 merasa 54 tahun, di mana pun mereka membacanya, bagaimanapun mereka membacanya: duduk atau berdiri.
Aku ingin menulis puisi untuk penjual rokok-kretek, tukang jahit kemeja, penanam lobak dan bawang perai, penambang sampan di sungai, penulis program komputer dan disertasi ilmu bedah, sehingga mereka berhenti sekejap dari kerja mereka dan sempat berkata: hidup ini, lumayan indah.
Aku ingin menulis syair buat pensiunan-pensiunan guru SD, pelamar-pelamar lowongan kerja, para langganan rumah gadai, plonco-plonci negeri dan swasta, pasien-pasien penyakit asma, kencing gula serta penganggur-penganggur sarjana, sehingga bila mereka baca beberapa sajakku, mereka bicara: hidup di Indonesia, mungkin harapan masih ada.
Aku ingin menulis sajak yang penuh proteina, sekedar zat kapur, bele-rang serta vitamina utama, sehingga puisi-puisiku ada sedikit berguna bagi kerja dokter-dokter umum, dokter hewan, insinyur pertanian dan peternakan.
Aku ingin menulis puisi bagi para pensiunan yang pensiunannya dipersulit otorisasinya, tahanan politik dan kriminal, siapa juga yang tersiksa, sehingga mereka ingat bahwa keadilan, tak putus diperjuangkan.
Aku ingin menulis sajak yang bisa membuat orang ingat pada Tuhan di waktu senang, senang yang sedang-sedang atau yang berlebihan.
Barangkali aku tak bisa menulis demikian.Tapi aku kepingin menuliskannya.Tapi ingin.
Aku ingin menulis puisi yang bisa dibidikkan tepat pada tubuh kehidupan, menembus selaput lendir, jaringan lemak, susunan daging, pembuluh darah arteri dan vena, mengetuk tulang dan membenam sumsum, sehingga perubahan fisika dan kimiawi, terjadi.
Aku ingin menulis puisi di buku catatan rapat-rapat Bappenas, pada agenda muktamar mahasiswa, surat-surat cinta muda mudi Indonesia, pada kolom kiri lembaran wesel yang tiap bulan dikirimkan orangtua pada anaknya yang sekolah jauh di kota.
Aku ingin menulis syair pada cetak-biru biru-biro arsitek, pada payung penerjun terkembang di udara, pada iklan-iklan jamu bersalin, pada tajuk rencana koran ibukota dan pada lagu pop anak-anak muda.
Aku ingin menulis sekali lagi puisi mengenang jendral Sudirman yang berparu-paru satu, serta tentang sersan dan prajurit yang terjun malam di Irian Barat kemudian tersangkut di pepohonan raksasa atau terbenam di rawa-rawa malaria.
Aku ingin menulis syair yang mencegah kopral-kopral tak pernah bertempur agar berhenti menempelengi sopir-sopir oplet yang tarikannya payah.
Aku ingin menulis sajak ambisius yang bisa menghentikan perang saudara dan perang tidak saudara, puisi konsep gencatan senjata, puisi yang bisa membatalkan pemilihan umum, menambal birokrasi, menghibur para pengungsi dan menyembuhkan pasien-pasien psikiatri.
Aku ingin menulis seratus pantun buat anak-anak berumurlima dan sepuluh tahun sehingga bila
dibacakan buat mereka, maka mereka tertawa dan gigi mereka yang putih dan rata
jelas kelihatan.
Aku ingin menulis puisi yang menyebabkan nasi campur dimakan serasa hidangan hotel-hotel mahal dan yang menyebabkan petani-petani membatalkan niat naik haji dengan menggadaikan sawah dan perhiasan emas sang isteri.
Aku ingin menulis puisi tentang merosotnya pendidikan, tentang Nabi Adam, keluarga berencana, sepur Hikari, lembah Anai, Amir Machmud, Piccadily Circus, taman kanak-kanak, Opsus, Raja Idrus, nasi gudeg, kota Samarkand, Raymond Westerling, Laos, Emil Salim, Roxas Boulevard, Dja’far Nur Aidit, modal asing, Checkpoint Charlie, Zainal Zakse, utang $ 3 milyard, pelabuhan Rotterdam, Champ Elysses dan bayi ajaib, semuanya disusun kembali menurut urutan abjad.
Aku ingin menulis puisi yang mencegah kemungkinan pedagang-pedagang Jepang merampoki kayu di rimba dalamKalimantan ,
melarang penggali minyak dan penanam modal mancanegara menyuapi penguasa yang
lemah iman, dan melarang sogokan uang pada pejabat bea cukai serta pengadilan.
Aku ingin menggubah syair yang menghapuskan dendam anak-anak yatim piatu yang orangtua dan paman bibinya terbunuh pada waktu pemberontakan komunis yang telah silam.
Aku ingin menulis gurindam yang menghapuskan dendam anak-anak yatim piatu yang orangtua dan paman bibinya dibunuh pada waktu pemberontakan komunis yang telah silam.
Barangkali aku tidak sempat menuliskannya semua.
Tapi aku ingin menulis puisi-puisi demikian.
Aku ingin.
Aku ingin menulis syair untuk kanak-kanak yang melompat-lompat di pekarangan sekolah, yang main gundu dan petak umpet di halaman rumah, yang menangis karena tidak naik kelas tahun ini.
Aku ingin menulis puisi yang membuat orang berumur 55 tahun merasa 25, yang berumur 24 merasa 54 tahun, di mana pun mereka membacanya, bagaimanapun mereka membacanya: duduk atau berdiri.
Aku ingin menulis puisi untuk penjual rokok-kretek, tukang jahit kemeja, penanam lobak dan bawang perai, penambang sampan di sungai, penulis program komputer dan disertasi ilmu bedah, sehingga mereka berhenti sekejap dari kerja mereka dan sempat berkata: hidup ini, lumayan indah.
Aku ingin menulis syair buat pensiunan-pensiunan guru SD, pelamar-pelamar lowongan kerja, para langganan rumah gadai, plonco-plonci negeri dan swasta, pasien-pasien penyakit asma, kencing gula serta penganggur-penganggur sarjana, sehingga bila mereka baca beberapa sajakku, mereka bicara: hidup di Indonesia, mungkin harapan masih ada.
Aku ingin menulis sajak yang penuh proteina, sekedar zat kapur, bele-rang serta vitamina utama, sehingga puisi-puisiku ada sedikit berguna bagi kerja dokter-dokter umum, dokter hewan, insinyur pertanian dan peternakan.
Aku ingin menulis puisi bagi para pensiunan yang pensiunannya dipersulit otorisasinya, tahanan politik dan kriminal, siapa juga yang tersiksa, sehingga mereka ingat bahwa keadilan, tak putus diperjuangkan.
Aku ingin menulis sajak yang bisa membuat orang ingat pada Tuhan di waktu senang, senang yang sedang-sedang atau yang berlebihan.
Barangkali aku tak bisa menulis demikian.Tapi aku kepingin menuliskannya.Tapi ingin.
Aku ingin menulis puisi yang bisa dibidikkan tepat pada tubuh kehidupan, menembus selaput lendir, jaringan lemak, susunan daging, pembuluh darah arteri dan vena, mengetuk tulang dan membenam sumsum, sehingga perubahan fisika dan kimiawi, terjadi.
Aku ingin menulis puisi di buku catatan rapat-rapat Bappenas, pada agenda muktamar mahasiswa, surat-surat cinta muda mudi Indonesia, pada kolom kiri lembaran wesel yang tiap bulan dikirimkan orangtua pada anaknya yang sekolah jauh di kota.
Aku ingin menulis syair pada cetak-biru biru-biro arsitek, pada payung penerjun terkembang di udara, pada iklan-iklan jamu bersalin, pada tajuk rencana koran ibukota dan pada lagu pop anak-anak muda.
Aku ingin menulis sekali lagi puisi mengenang jendral Sudirman yang berparu-paru satu, serta tentang sersan dan prajurit yang terjun malam di Irian Barat kemudian tersangkut di pepohonan raksasa atau terbenam di rawa-rawa malaria.
Aku ingin menulis syair yang mencegah kopral-kopral tak pernah bertempur agar berhenti menempelengi sopir-sopir oplet yang tarikannya payah.
Aku ingin menulis sajak ambisius yang bisa menghentikan perang saudara dan perang tidak saudara, puisi konsep gencatan senjata, puisi yang bisa membatalkan pemilihan umum, menambal birokrasi, menghibur para pengungsi dan menyembuhkan pasien-pasien psikiatri.
Aku ingin menulis seratus pantun buat anak-anak berumur
Aku ingin menulis puisi yang menyebabkan nasi campur dimakan serasa hidangan hotel-hotel mahal dan yang menyebabkan petani-petani membatalkan niat naik haji dengan menggadaikan sawah dan perhiasan emas sang isteri.
Aku ingin menulis puisi tentang merosotnya pendidikan, tentang Nabi Adam, keluarga berencana, sepur Hikari, lembah Anai, Amir Machmud, Piccadily Circus, taman kanak-kanak, Opsus, Raja Idrus, nasi gudeg, kota Samarkand, Raymond Westerling, Laos, Emil Salim, Roxas Boulevard, Dja’far Nur Aidit, modal asing, Checkpoint Charlie, Zainal Zakse, utang $ 3 milyard, pelabuhan Rotterdam, Champ Elysses dan bayi ajaib, semuanya disusun kembali menurut urutan abjad.
Aku ingin menulis puisi yang mencegah kemungkinan pedagang-pedagang Jepang merampoki kayu di rimba dalam
Aku ingin menggubah syair yang menghapuskan dendam anak-anak yatim piatu yang orangtua dan paman bibinya terbunuh pada waktu pemberontakan komunis yang telah silam.
Aku ingin menulis gurindam yang menghapuskan dendam anak-anak yatim piatu yang orangtua dan paman bibinya dibunuh pada waktu pemberontakan komunis yang telah silam.
Barangkali aku tidak sempat menuliskannya semua.
Tapi aku ingin menulis puisi-puisi demikian.
Aku ingin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar