Jumat, 28 Oktober 2011

Kumpulan Sajak Taufik Ismail "Tirani dan Benteng"


Bukit Kelu, Bukit Biru

Adalah hujan dalam kabut yang ungu
Turun sepanjang gunung dan bukit biru 
Ketika kota cahaya dan di mana bertemu 
Awan putih yang menghinggapi cemaraku

Adalah kemarau dalam sengangar berdebu
Turun sepanjang gunung dan bukit kelu
Ketika kota tak bicara dan terpaku 
Gunung api dan hama di ladang-ladangku

Lereng-lereng senja
Pernah menyinar merah kesumba 
Padang hilalang dan bukit membatu
Tanah airku.

Elegi buat Sebuah Perang Saudara

Dengan mata dingin dia turun ke medan
Di bahunya tegar tersilang hitam senapan
Dengan rasa ingin ditempuhnya perbukitan
Mengayun lengan kasar berbulu dendam

Angin pun bagai kampak sepanjang hutan
Bukit-bukit dipacu atas kuda kelabu
Dada dan lembah menyenak penuh deram
Di ujung gunung lawannya sudah menunggu

Terurai kendali kuda, merentak ringkiknya
Di kaki langit teja mengantar malam tembaga
Luluhlah senja dalam denyar. 
Api mesiu
Di ujung gunung lawan rebah telungkup bahu
Angin tak lagi menderu tapi desah tertahan
Dengan kaki sombong dibalikkannya lelaki itu
Ketika senja berayun malam di dahan-dahan

Angin pun menggigiti kulit bagai gergaji
Telentang kaku di bumi. 
Telah dibunuh adik sendiri.

Bilakah Kau Akan Melintas di Depan Ku

Kutunggu-tunggu kau melintas di depanku 
Begitu benarkah lamanya 
Sangat ingin aku menegurmu dalam sapa 
Tingkap angin makin ungu dalam nestapa

Fajar pun yang tak kunjung teraih 
Begitu benarkah sukarnya 
Kemarauku menggigil dalam nyala 
Musim tempat berbagi yang perih

Tanganku inikah tangan dukana 
Menjulur-julur dan kemah berkibar badai
Suara tanah yang hama sepanjang bencana 
Warna papa tergapai, sapuan tak sampai-sampai

Kutunggu-tunggu kau melintas di depanku 
Begitu benarkah jarak zamannya 
Sangat ingin aku menyapamu dalam tegur 
Dan kau balas dengan senyum menghibur.

Potret di Beranda

Di beranda rumah nenekku, di desa Baruh 
Potretku telah tergantung 26 tahun lamanya 
Bersama gambar-gambar sulaman ibuku
Dibuatnya tatkala masih perawan

Di dapur rumah nenekku, nenekku renta
Tergolek drum tua pemasak kerupuk kulit
Di atasnya sepasang tanduk hitam berdebu
Kerbau bajak kesayangan kakekku

Kerupuk kulit telah mengirim ibuku
Sekolah ke kota, jadi guru
Padi, lobak dan kentang ditanam kakekku
Yang disulap subur dalam hidayat
Dijunjung dan dipikul ke pasar
Dalam dingin dataran tinggi
Karena ibuku yang mau jadi guru

Dan ibuku bertemu ayahku
Yang dikirim nenekku ke surau menyabit ilmu
Dengan ikan kolam, bawang dan wortel
Di ujung cangkul kakekku kukuh
Yang kembang dan berisi dalam rahmat
Terbungkuk-bungkuk dijunjung di hari pekan
Karena ayahku mau jadi guru

Maka lahirlah kami berenam
Dalam rahman
Dalam kesayangan
Dalam kesukaran
Di beranda rumah nenekku, di desa Baruh
Potretku telah tergantung 26 tahun lamanya
Bersama gambar-gambar buatan ibuku
Disulamnya tatkala masih perawan.

Pekalongan Lima Sore

Kleneng bel beca
Debu aspal panggang
Sangar jalan pelabuhan
Terik kota pesisir
Tik-tik persneling Raleigh
Bungkus sarung palekat
Sungai kuning coklat
Nyanyi rumah yatim
Pejaja es lilin
Riuh Kampung Arab
Jembatan loji karatan
Genteng rumah pegadaian
Keringat pasar sepi
Kumis Raj Kapoor
Sengangar lilin batik
Deru pabrik tenun
Bal-balan Bong Cina
Harum tauto Tjarlam
Sirup kopyor dingin
Gorengan kuali tahu
Percikan minyak kelapa
Sisa bungkus megono
Panas teh melati
Tik-tok kuda dokar
Dengung DKW Hummel
Peluit sepur bomel
Klakson Debu Revolusi.

Dengan Puisi, Aku

Dengan puisi aku bernyanyi
Sampai senja umurku nanti
Dengan puisi aku bercinta
Berbatas cakrawala
Dengan puisi aku mengenang
Keabadian Yang Akan Datang
Dengan puisi aku menangis
Jarum waktu bila kejam mengiris
Dengan puisi aku mengutuk
Nafas zaman yang busuk
Dengan puisi aku berdoa
Perkenankanlah kiranya.

Jam Kota

Pada ulang hari jadiku, kukitari kota kelahiranku
Setelah sebelas tahun tak menatap wajahmu
Hutan pinus pada bukit-bukit yang biru
Sekolah lama, gang-gang di pasar, pohon-pohon kenari
Di jauhan jam kota menjulang tinggi

Kotaku yang nanar sehabis perang
Wajah muram dan tubuh luka garang
Detak tapal kuda satu-satu
Wahai, pandanglah mukaku!

Bioskop tua.
Dindingnya pun retak-retak
Tempatku dulu takjub mengimpikan dunia luar
Jalan kecil sepanjang rel kereta-api.
Raung Beruang es di kebun binatang
Pedati kerbau merambati kota pegunungan
Memutar roda kehidupan yang sarat

Di depan rumah sakit aku berhenti sebentar
Memandang dari luar dindingnya yang putih
Rahim ibuku, di suatu kamarnya, melepas daku
Ke dunia. Dan jam kota
Berdentang dini hari

Masih kulihat masjid itu, di tengah sawah
Beberapa surau lereng gunung, beratap seng merah
Gang-gang di pasar, amai-amai pedagang berselendang
Bernaung ratusan payung peneduh matahari
Dataran tinggi.
Susunan panci nasi Kapau Kerupuk Sanjai, ikan asin, onggokan lada merah
Toko kopiah sutera, toko-toko emas menutup pintunya
Anak-anak berkejaran di setasiun bus
Wahai, mengapa kalian menundukkan muka?
Kotaku yang nanar sehabis perang
Wajah muram dan tubuh luka garang
Detak tapal kuda satu-satu
Wahai, pandanglah mukaku!

Oktober Hitam

(1)
Atap-atap gunung
Dan daratan
Meratap Ke mega gemulung
Mata yang duka
Menatap Sepanjang pagi murung
Angin yang nestapa
Berdesah Awan pun mendung
Di musim pengap
Yang gelisah
Menitiklah gerimis
Karena berjuta
Telah menangis
Tujuh lelaki
Telah mati
Pagi itu

(2)
Kaki kami lamban menyongsongmu,
Kenyataan
Begitu keras kau gedor-gedor pintu negeri kami
Yang terkantuk-kantuk dalam kefanaan panjang
Dan terendam mimpi demagogi
Cakar kekhianatan
Telah mencengkeram urat leher
Menebas jalan napas

(3)
Pohon-pohon cemara
Pohon asam
Pohon randu sepanjang jalan
Pohon pina di hutan-hutan
Pohon kamboja di pekuburan
Menundukkan
Daun-daunnya
Dan margasatwa
Kawanan unggas
Burung kepodang
Balam dan elang
Berbisik-bisik
Tiada henti
Menyebut namaMu

(4)
Darah Ade, anak perempuan mungil itu
Menetes sepanjang tongkat ayahnya
Yang bertelekan di kuburan
Menahan berat beban cobaan
Tapi tetap tegak bertahan
Sembilu telah mengiris langit
Menyayat-nyayat mega
Menurunkan gerimis
Semua berbisik
Tiada henti
Menyebut namaMu
Kami pun terjaga dalam
Oktober yang hitam
Bangkit dan kabut ilusi
Tahun-tahun meleleh, tangan ‘kan menegak keadilan
Dalam deram tak tertahan-tahan!

(5)
Awan pun jadi mendung
Di pagi musim yang pengap
Ketika arakan jenazah
Bergerak pelahan
Di atas kendaraan baja
Di bawah awan nestapa
Dipagar air mata
Kulihat pagi jadi mendung
Kulihat cuaca mengundang gerimis
Di negeri yang berkabung
Dalam duka mengiris
Fajar kelabu
Fajar kelam
Pagi pembunuhan
Pagi yang hitam
Tujuh lelaki
Telah mati
Dikhianati.

Alamat Tak di Kenal

Setiap kami tuliskan pesan untukmu
Kami selalu bertanya-tanya
Adakah ia pernah kau terima

Hari ini koran pun memuat iklan-iklan dukacita
Seperti bulan yang lalu dalam bayang abu jelaga
Tahun depan begitu pula, siapa bisa tahu
Robekan penanggalan yang selalu bencana

Randu hutan tak lagi termangu, tapi gundul merunduk
Menahan beban musim sepanjang sejarah
Dan tanah kita adalah bumi semakin melapuk
Gunung api dan gelombang tak kenal istirah

Abjad kehidupan, terlalu keraskah untuk kaueja
Bila sepanjang gang dan di mana-mana orang pada antri
Menadah untuk kutuk apa lagi yang akan menimpa
Sebuah bisik makin tenggelam dalam riuh arena

Ranah mana lagi hilang dari muka bumi
Air bah berpacu mengatasi nyala gunung api
Sementara dunia berjamu dalam pesta ibukota
Beribu balon mengapung menuju mega

 Setiap kali kami tuliskan pesan untukmu
Pada iklan duka kantor pekabaran itu juga
Kami bertanya-tanya selalu
Adakah ia pernah kauterima.

Obsesi Garis Miring

Seekor makhluk melompat-lompat
Dari satu garis miring
Ke garis miring lainnya
Di atas rimba jaringan skema
Saat ini dia tergelincir
Dan meluncur tertahan-tahan
Ke bawah, kejurang
Tangannya menggapai-gapai.

Percakapan dengan Zaini

Rendra di muka kaca
Syahwil sedang meriasnya

Penyanyi berbagai serenada dalam warna
Sedang menatap diri sendiri dalam kaca
Penyair yang meluluhkan jasad dengan garang
Panggilan gong di pentas bertambah lantang

Seribu sajak meleburkan baitnya dalam gerak
Menggelepar manja.
Berbulu putih dengan sayap perak
Beterbangan dan hinggap dari dahan ke dahan
Dahan zaitun, dahan pohon utara dan selatan

Seribu gerak kembali lahir jadi puisi
Si pencari yang mendaki tangga zaman Yunani
Kuulurkan tangan padanya: mari kita ngembara
Ke mana saja.
Karena sajak ada di sepanjang benua

Penyanyi itu telah mengenakan jas birunya
Kali terakhir menatap dirinya pada kaca
Semakin lama kita ngembara dalam puisi
Mana tanganmu, siapa tak terbawa jauh sekali.

Tjaikovski 1812

Dalam dada sesak
Kabut mengerang lalu tergelepar
Dan di sini kulihat Iwan
Ketika dia menunjukkan
Sebuah bulan bujur sangkar.

Dalam gerimis

Segugus kapuk randu
Melayang dalam hujan
Menyambung suara bumi berbisik.
Tertengadah
Pohon-pohon bungur berbunga ungu
Langit yang mekar dalam hujan pertama

Pohon bungur menyebarkan warna ungu
Sepanjang jalan raya
Angin yang mengetuk mendung.
Di atas kota menjelang gugus malam
Musim kemarau berbisa
Deretan sedih pohon jeungjing
Sepanjang tebing

Di langit nyaris lembayung.
Kawanan Kelelawar beterbangan ke tenggara
Kawat-kawat telepon berjajaran menghitami
Cakrawala yang retak warna
Kota dalam sayatan jingga
Kelelawar dan kapuk randu
Melayang dalam gerimis
Di atas rimba kotaku
Dahan gladiola telanjang dan menggigil
Memanjang padang yang gelisah
Dari selatan seakan ada yang memanggil
Ini hanya sementara, akan membentang
Musim lebih parah
Mendung mengucur pelahan
Dengan kaki-kaki ramping
Dan gerimis berlompatan
Di pipi sungai.
Sungai pedalaman yang jernih
Kijang-kijang istana berlarian
Berkerisik dalam pusingan dedaun coklat

Tangan yang mengacung ke langit
Dengan jari-jemari mengembang
Meninggi dalam bisa kemarau yang panjang
Sejarah berjalan terbungkuk, di padang ini
Menyalakan kemarau dan gunung api
Kemudian menuliskan namanya
Pada tangga waktu

Di langit sudah lembayung
Kapuk randu melayang dalam gerimis
Dan kelelawar bergayutan di puncak hutan
Jajaran jendela luka
Yang tertutup dan menanti
Suara memanggil.
Walau terhenti
Dalam menggigil
Kapuk randu bergugusan
Melayangi gerimis malam.

Catatan Tahun 1965

Di lapangan dibakari buku
Mesin tikmu dibelenggu
Piringan hitam dipanggang
Buku-buku dilarang
Kita semua diperanjingkan
Gaya rabies klongsongan
Hamka diludahi Pram
Masuk penjara Sukabumi
Jassin dicaci diserapahi
Terbenam daftar hitam
Usmar dimaki Lentera
Takdir disumpahi Lekra Sudjono dicangkul BTI Nasakom bersatu apa
Umat dibunuhi di desa Kanigoro bagaimana lupa
Kus Bersaudara dipenjara
Mochtar masih diterungku
Osram bungkuk meringkuk Jalan aspal kubangan
Minyak tanah dikemanakan
Rebutan beras antrian
Siapa mati kelaparan
Inflasi saban pagi
Pidato tiap hari
Maki-maki sebagai gizi
Bahasa carut diperluaskan
Beatles gondrong dipersetankan
Pita suara dimatirasakan
Susunan syaraf dianastesi
Genjer-genjer jadi nyanyi
Tari perang dipamerkan
Warna merah dikibarkan
Warna hitam dikalbukan
Pawai garang digenderangkan
Kolone kelima disusupkan
Sarung siapa dilekatkan
Matine Gusti-Allah dipentaskan.

(Pawai HUT PKI, 23 Mei 1965)

Almamater

Di depan gerbangmu tua pada hari ini
Kami menyilangkan tangan ke dada kiri
Tegak tengadah menatap bangunanmu
Genteng hitam dan dinding kusam.
Berlumut waktu
Untuk kali penghabisan

Marilah kita kenangkan tahun-tahun dahulu
Hari-hari kuliah di ruang fisika
Mengantuk pada pagi cericit burung gereja
Praktikum. Padang percobaan. Praktek daerah
Corong anastesi dan kilau skalpel di kamar bedah
Suara-suara menjalar sepanjang gang
Suara pasien yang pertama kali kujamah

Di aula ini, aula yang semakin kecil
Kita beragitasi, berpesta dan berkencan
Melupakan sengitnya ujian, tekanan gurubesar
Melepaskannya pada hari-hari perpeloncoan
Pada film dan musik yang murahan

Ya, kita sesekali butuh juga konser yang baik
Drama Sophocles, Chekov atau ‘Jas Panjang Pesanan’
Memperdebatkan politik, Tuhan dan para negarawan
Tentang filsafat, perempuan serta peperangan
Bayang benua abad dahulu lewat abad yang kini

Di manakah kau sekarang berdiri?
Di abad ini
Dan bersyukurlah karena lewat gerbangmu tua
Kau telah dilantik jadi warga Republik
Berpikir bebas
Setelah bertahun diuji kesetiaan dan keberanianmu
Dalam berpikir dan menyatakan kebebasan suara hati
Berpijak di tanah air nusantara
Dan menggarap tahun-tahun kemerdekaan
Dengan penuh kecintaan
Dan kami bersyukur pada Tuhan
Yang telah melebarkan gerbang tua ini
Dan kami bersyukur pada ibu bapa
Yang sepanjang malam
Selalu berdoa tulus dan terbungkuk membiayai kami
Dorongan kekasih sepenuh hati
Dan kami berhutang pada manusia
Yang telah menjadi guru-guru kami
Yang membayar pajak selama ini
Serta menjaga sepeda-sepeda kami
Pada hari ini di depan gerbangmu tua
Kami kenangkan cemara halamanmu dalam bau formalin
Mikroskop. Kamar obat. Perpustakaan
Gulungan layar di kampung nelayan
Nyanyi pohon-pohon perkebunan
Angin hijau di padang-padang peternakan
Deru kemarau di padang-padang penggembalaan
Dalam mimpi teknologi, kami kini dipanggil
Untuk menggarap tahun-tahun kemerdekaan
Dan mencintai manusianya
Mencintai kebebasannya.

Sudah Dua Puluh Tahun

Impian kemerdekaan
Di matamu membayang
Malam dan siang.

Oda pada Van Gogh

Pohon sipres.
Kafe tua
Di ujung jalan
Sepi.
Sepi jua

Langit berombak
Bulan di sana
Sepi.
Sepi namanya.

Perkiraan Sesudah Makan Malam, September

Demikianlah, bila kita harus berkata juga
Kontemporer!
Saat ini!
Ya
Saat ini juga
Dan secarik bintang melesat di atas sana.

Aku Belum Bisa Menyebutmu Lagi

Ya, aku belum bisa menyebut namamu lagi
Dalam surat, buku harian dan percakapan sehari-hari
Kembali seakan sebuah janji diikrarkan
Apa lagi yang dapat kita ucapkan

Seperti dulu, namamu penuh belum bisa kusebut kini
Jauhkan daku dari kekhianatan, doaku setiap kali
Daun-daun asam mulai bermerahan dalam gugusan
Bara kemarau, lunglai dan teramat pelahan

Di atas hutan kelelawar senja beterbangan
Beratus sayap berombak-ombak ke selatan
Menyebar di atas baris-baris merah berangkat tenggelam
Dan sekian ratus senja yang kucatat jadi malam

Kabut pun bagai uban di atas hutan-hutan
Uap air tipis, merendah dari tepi-tepi
Tak sampai gerimis hanya awan berlayangan
Duh namamu penuh, yang belum bisa kusebut kini

Pada suatu hari namamu utuh akan kusebut lagi
Di titik senyap kekhianatan doaku setiap kali
Di atas baris-baris merah yang berangkat tenggelam
Sekian ribu senja kucatat jadi malam.

2 September 1965, Senja

Kemerdekaan masih bertahan
Kemerdekaan untuk diam
Senja ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar