Benteng
Sesudah siang panas yang meletihkan
Sehabis
tembakan-tembakan yang tak bisa kita balas
Dan kita kembali ke kampus ini
berlindung
Bersandar dan berbaring, ada yang merenung
Di lantai bungkus nasi bertebaran
Di lantai bungkus nasi bertebaran
Dan para dermawan tidak dikenal
Kulit duku
dan pecahan kulit rambutan
Lewatlah di samping
Kontingen Bandung Ada yang berjaket Bogor.
Kontingen Bandung Ada yang berjaket Bogor.
Mereka dari mana-mana
Semuanya kumal, semuanya tak bicara
Tapi kita tidak akan
terpatahkan
Oleh seribu senjata dan seribu tiran
Tak sempat lagi kita pikirkan
Tak sempat lagi kita pikirkan
Keperluan-keperluan kecil seharian Studi,
kamar-tumpangan dan percintaan
Kita tak tahu apa yang akan terjadi sebentar
malam
Kita mesti siap saban waktu, siap saban jam.
06:30
Di pusat Harmoni
Pada papan adpertensi (Arloji Castell)
Tertulis begini: “Dunia Kini Membutuhkan Waktu Yang Tepat”
Di belakangnya langit pagi
Di belakangnya langit pagi
Tembok sungai dan kawat berduri
Pengawalan berjaga.
Di istana
Arloji Castell Berkata pada setiap yang lewat “Dunia Kini Membutuhkan Waktu Yang Tepat”.
Arloji Castell Berkata pada setiap yang lewat “Dunia Kini Membutuhkan Waktu Yang Tepat”.
Silhuet
Gerimis telah menangis
Di atas bumi yang lelah
Angin jalanan
yang panjang
Tak ada rumah.
Kita tak berumah
Kita hanya bayang-bayang
Gerimis telah menangis
Gerimis telah menangis
Di atas bumi yang letih
Di atas jasad yang pedih
Kita
lapar.
Kita amat lapar Bayang-bayang yang lapar
Gerimis telah menangis
Gerimis telah menangis
Di atas bumi yang sepi
Sehabis pawai genderang
Angin
jalanan yang panjang
Menyusup-nyusup
Menusuk-nusuk
Bayang-bayang berjuta
Bayang-bayang berjuta
Berjuta bayang-bayang
Di bawah bayangan pilar
Di bawah bayangan pilar
Di bawah bayangan emas
Berjuta bayang-bayang
Menangisi
gerimis
Menangisi gunung api
Kabut yang ungu
Membelai perlahan
Membelai perlahan
Hutan-hutan Di selatan.
Bendera
Mereka yang berpakaian hitam
Telah berhenti di depan sebuah
rumah
Yang mengibarkan bendera duka
Dan masuk dengan paksa
Mereka yang berpakaian hitam
Mereka yang berpakaian hitam
Telah menurunkan bendera itu
Di hadapan seorang
ibu yang tua “Tidak ada pahlawan meninggal dunia!”
Mereka yang berpakaian hitam
Mereka yang berpakaian hitam
Dengan hati yang kelam
Telah meninggalkan rumah
itu
Tergesa-gesa
Kemudian ibu tua itu
Kemudian ibu tua itu
Pelahan menaikkan kembali
Bendera yang duka
Ke tiang yang
duka.
Surat
ini adalah sebuah sajak terbuka
Ditulis pada sebuah sore yang biasa.
Oleh Seorang warganegara biasa
Dari republik ini
Surat ini
ditujukan kepada
Penguasa-penguasa negeri ini.
Mungkin dia
Bernama Presiden. Jenderal. Gubernur.
Barangkali dia Ketua MPRS
Taruhlah dia anggota DPR
Atau pemilik sebuah perusahaan politik (bernama partai)
Mungkin dia Mayor, Camat atau Jaksa Atau Menteri.
Apa sajalah namanya
Malahan mungkin dia saudara sendiri
Jika ingin saya tanyakan adalah
Tentang harga sebuah nyawa di negara kita
Begitu benarkah murahnya? Agaknya
Setiap bayi dilahirkan di Indonesia
Ketika tali-nyawa diembuskan Tuhan ke pusarnya
Dan menjeritkan tangis-bayinya yang pertama
Ketika sang ibu menahankan pedih rahimnya
Di kamar bersalin
Dan seluruh keluarga mendoa dan menanti ingin
Akan datangnya anggota kemanusiaan baru ini
Ketika itu tak seorang pun tahu
Bahwa 20, 22 atau 25 tahun kemudian
Bayi itu akan ditembak bangsanya sendiri
Dengan pelor yang dibayar dari hasil bumi
Serta pajak kita semua
Di jalan raya, di depan kampus atau di mana saja
Dan dia tergolek di sana jauh dari ibu, yang
Melahirkannya.
Jauh dari ayahnya
Yang juga mungkin sudah tiada
Bayi itu pecahlah dadanya.
Mungkin tembus keningnya
Darah telah mengantarkannya ke dunia
Darah kasih sayang
Darah lalu melepasnya dari dunia
Darah kebencian
Yang ingin saya tanyakan adalah
Tentang harga sebuah nyawa di negara kita
Begitu benarkah gampangnya?
Apakah mesti pembunuhan itu penyelesaian
Begitu benarkah murahnya?
Mungkin sebuah
Nama lebih penting
Disiplin tegang dan kering
Mungkin pengabdian kepada negara asing
Lebih penting Mungkin
Surat ini adalah sebuah sajak terbuka
Maafkan para studen sastra. Saya telah
Menggunakan bahasa terlalu biasa
Untuk puisi ini.
Kalaulah ini bisa disebut puisi
Maafkan saya menggunakan bahasa terlalu biasa
Karena pembunuhan-pembunuhan di negeri ini pun
Nampaknya juga sudah mulai terlalu biasa
Kita tak bisa membiarkannya lebih lama)
Kemudian kita dipenuhi pertanyaan
Benarkah nyawa begitu murah harganya?
Untuk suatu penyelesaian
Benarkah harga-diri manusia kita
Benarkah kemanusiaan kita
Begitu murah untuk umpan sebuah pidato
Sebuah ambisi
Sebuah ideologi
Sebuah coretan sejarah
Benarkah?
Malam itu kami duduk di beranda, bulan pun ada
Lalu lintas terasa hingar, deru-deram sebentar-sebentar
Memanjang kawat telepon di antara tiang yang merentang
Redup temaram dalam garis-garis coretan hitam
Dengung karet beca, lewat lubang selokan tua
Tiba-tiba di langit membusur titik cahaya
Di celah deretan pohon, menyusur cemara hospital
Kami sama berdiri. ‘Bulan auronetika-kah kini?’
Benda-angkasa itu meluncur pelahan
Dalam busur lengkung di langit barat
Lewat atas atap, lewat pucuk cemara hospital
Seraya ke bumi ini memberi cahaya sinyal
Kami sama terdiam, sama menatap cahaya yang main
Sebuah transistor menyanyikan tema jazz Summertime
Busur cahaya itu makin melengkung
Di atas gedung, menyentuh bayang bangunan
Melintas sebuah majelis yang tengah bersidang
Yang masih bergumul bagi kebebasan
Dan masalah-masalah kelaparan serta kemiskinan
Sementara benda-angkasa ini menunjuk ke bulan
Dan menjelujuri rimba-belantara teknologi
Majelis ini mencoba lagi mengeja kata demokrasi
Mulai menuliskan lengkung huruf ‘d’ dari demokrasi itu
Di langit pun membusur garis cahaya
Menerangi bumi ini, mulanya temaram, lalu makin terang
Anak-anak belasan tahun berlarian riang
Di atas runtuhan slogan, menginjak potret-potret pemujaan
Berkejaran dalam main bandit-dan-lakon
Menyusur trotoar, tembok-tembok kota dan jalan raya
Menggeledahi gedung-gedung birokrasi dan mengiringi mereka
Keluar.
Berjalanlah mereka.
Kawanan serigala
Yang khianat, dan kini dipisahkan dari pimpinannya
Sesekali dia meraung pendek.
Meratapi langitnya makin senja
Meratapi bulan merah, pohon-pohon pinus lama
Dan dulu daerah perburuannya.
Meraungi betina-betinanya
Dan lantai pualam menengadahlah dia ke angkasa
Angkasa yang kini, lebih dari masalah “saya terharu”
Lebih dari masalah bintang-bintang astrologi
Angka-angka komputer, eksperimen dan presisi teknologi!
Dan di sini, orang bergulat melawan anti-logika masih
Masalah empat-kebebasan, masalah kurangnya proteina
Elektrifikasi dan cetak biru yang sia-sia
Seseorang berjalan, lalu puluhan berjalan, ribuan
Di bawah langit terik lagi, kecemasan lagi
Di antara lontaran cakram-cakram api
Seperti sebagian gelombang lama, pelahan meninggi
Membentur seberang sana.
Berhenti
Dan berteriak: Hei kau-kau yang disana !
Kalian! Hei… kau
Ya: kau!
Dan tiba-tiba semua terdiam.
Terdiam.
Hanya terdiam
Di Jakarta yang tua,
Jakarta yang Betawi
Jakarta yang Ciliwung
Ketika dari Buitenzorg bergerak kereta-kencana ke utara
Dengan dua belas kuda putih sang Gubernur
Dalam derap-dua di jalan tanah
Tanah dijarah, bumi yang dijajah
Sekian kali, sekian lama, oleh sekian orang
Orang asing dan beberapa pribumi
Di Jakarta sini, ya, Jakarta yang Betawi
Jakarta yang Rijswijk, yang Meester, yang asli Betawi
Jakarta yang Empat Serangkai, yang Saiko Sikikan Kakka
Jakarta yang tugu, yang syauvinis, yang maksiat
Tapi semuanya
Tapi semuanya Jakarta yang Ciliwung
Jakarta yang Ciliwung
Mengalirlah kau Ciliwung, mengalirlah tenang
Mengalirlah lamban dengan kepekaan dan kecoklatanmu
Bersama lempung, bersama ampas, bersama sampah
Bersama sejarah
Dan malam ini kau surut, malu pada bulan di atas
Gusar pada benda angkasa yang membusur pelahan
Menyusur hasil-akhir perhitungan kosmografi
Sementara kau belum sempat-sempat membersihkan diri
Masalah saniter, perencanaan kota dan semacamnya
Dan di atas kau jembatan, lintas kawat dan flamboyan
Gugus-gugus bunga merah yang semakin rendah
Gugur ke sungai, gugur, hanyut dalam spiral
Bayang-bayang yang coklat
Bayang-bayang yang bergoyang
Perempuan mencuci
Anak telanjang yang mandi
Burung layang-layang melayang
Dalam senja hilang bayang-bayang
Di belakang barikade yang panjang
Kawat duri bersilang
Dinding sungai yang curam
Rumah-jaga terdiam
Karaben bersangkur terhunjam.
Nasihat-Nasihat Kecil Orang Tua Pada Anaknya Berangkat Dewasa
Jika adalah yang harus kaulakukan
Ialah menyampaikan
Kebenaran
Jika adalah yang tidak bisa dijual-belikan
Ialah yang bernama
keyakinan
Jika adalah yang harus kautumbangkan
Ialah segala pohon-pohon kezaliman
Jika adalah orang yang harus kauagungkan
Ialah hanya Rasul Tuhan
Jika adalah
kesempatan memilih mati
Ialah syahid di jalan Ilahi.
Persetujuan
Momentum telah dicapai.
Kita
Dalam estafet amat panjang
Menyebar benih ini di bumi
Telah sama berteguh hati
Adikku Kappi, engkau sangat muda
Adikku Kappi, engkau sangat muda
Mari kita berpacu dengan sejarah
Dan kini
engkau di muka!
La Strada atau Jalan Terpanggang Ini
Kini anak-anak itu telah berpawai pula
Dipanggang panas
matahari ibukota
Setiap lewat depan kampus berpagar senjata
Mereka berteriak
dengan suara tinggi “Hidup kakak-kakak kami!”
Mereka telah direlakan ibu bapa
Mereka telah direlakan ibu bapa
Warganegara biasa negeri ini
Yang melepas
dengan doa
Setiap pagi
Kaki-kaki kecil yang tak kenal lelah
Kaki-kaki kecil yang tak kenal lelah
Kini telah melangkahkan sejarah.
Dari Ibu Seorang Demonstran
“Ibu telah merelakan kalian
Untuk berangkat demonstrasi
Karena kalian pergi menyempurnakan
Kemerdekaan negeri ini
Ya, ibu tahu, mereka tidak menggunakan gada
Ya, ibu tahu, mereka tidak menggunakan gada
Atau gas airmata
Tapi langsung
peluru tajam
Tapi itulah yang dihadapi Ayah kalian almarhum
Delapan belas tahun
yang lalu
Pergilah pergi, setiap pagi
Pergilah pergi, setiap pagi
Setelah dahi dan pipi kalian
Ibu ciumi
Mungkin ini
pelukan penghabisan (Ibu itu menyeka sudut matanya)
Tapi ingatlah, sekali lagi
Tapi ingatlah, sekali lagi
Jika logam itu memang memuat nama kalian (Ibu itu
tersedu sesaat)
Ibu relakan
Ibu relakan
Tapi jangan di saat terakhir
Kauteriakkan kebencian
Atau dendam
kesumat
Pada seseorang
Walaupun betapa zalimnya
Orang itu
Niatkanlah menegakkan
kalimah Allah
Di atas bumi kita ini
Sebelum kalian melangkah setiap pagi
Sunyi
dari dendam dan kebencian
Kemudian lafazkan kesaksian pada Tuhan
Serta Rasul
kita yang tercinta
Pergilah pergi Iwan, Ida dan Hadi
Pergilah pergi Iwan, Ida dan Hadi
Pergilah pergi
Pagi ini.”
(Mereka telah berpamitan dengan ibu dicinta
(Mereka telah berpamitan dengan ibu dicinta
Beberapa saat tangannya meraba
rambut mereka
Dan berangkatlah mereka bertiga
Tanpa menoleh lagi, tanpa
kata-kata).
Yell
Tiga truk terbuka
Lewat depan rumah
Mereka menyanyi gembira
“Buat Apa Sekolah”
Tas buku di tangan kiri
Tas buku di tangan kiri
Dibakar matahari, tak bertopi
Mereka meneriakkan
Kebenaran
Yang telah lama dibungkamkan.
Oda Bagi Seorang Supir Truk
Sebuah truk lama
Dengan supir bersahaja
Telah beruban dan
agak bungkuk
Di atas stirnya tertidur
Di tepi jalan yang sepi
Di suatu senja
musim ini
Dalam tidurnya ia bermimpi
Dalam tidurnya ia bermimpi
Jalanan telah rata.
Ditempuhnya
Dengan sebuah truk
baru
Dengan klakson yang bisa berlagu
Dan di sepanjang jalanan
Beribu anak-anak
demonstran
Tersenyum padanya, mengelu-elukan “Hiduplah bapak supir yang tua
Yang dulu berjuang bersama kami
Selama demonstrasi!”
Di tepi sebuah jalan di ibukota
Di tepi sebuah jalan di ibukota
Ketika udara panas, di suatu senja
Seorang
supir lusuh dengan truk yang tua
Duduk sendiri terkantuk-kantuk S
emakin letih,
semakin bungkuk.
Horison
Kami tidak bisa dibubarkan
Apalagi dicoba dihalaukan
Dari
gelanggang ini
Karena ke kemah kami
Karena ke kemah kami
Sejarah sedang singgah
Dan mengulurkan tangannya yang
ramah
Tidak ada lagi sekarang waktu
Tidak ada lagi sekarang waktu
Untuk merenung panjang, untuk ragu-ragu
Karena
jalan masih jauh
Karena Arif telah gugur
Dan luka-luka duapuluh-satu.
Rendez-Vous
Sejarah telah singgah
Ke kemah kami
Ia menegur sangat ramah
Dan mengajak kami pergi
“Saya sudah mengetuk-ngetuk
“Saya sudah mengetuk-ngetuk
Pintu yang lain,” Katanya “Tapi amat heran
Mereka
berkali-kali menolakku
Di ambang pintu.”
Kini kami beratus-ribu
Kini kami beratus-ribu
Mengiringkan langkah
Sejarah
Dalam langkah yang seru
Dan
semakin cepat
Semakin dahsyat
Menderu-deru
Dalam angin berputar
Dalam angin berputar
Badai peluru
Topan bukit batu!
Kata Itu, Suara Itu
Tiga buah panser kavaleri
Membayang hitam malam ini
Kami
sama berjaga.
Semua hening
Seorang anak empat belas tahun
Bertukar api rokok
dengan kopral ini
Gugus api berlompatan Cocktail Molotov di sudut berjajaran
Sebagian tidur, sebagian berkawal
Mungkin sebentar lagi mereka dibangunkan
Atau
pagi-pagi sekali bergerak
Menyandang AK, perajurit ini berpapasan
Dengan yang
berjaket kuning, dalam gelap
Tanpa kata, tanpa suara
Ruangan yang suram
Langit
yang hitam
Tiada kata, tiada suara
Tapi satu sama lain tahu kata itu
Tahu suara
itu
Suara bumi ini
Suara berjuta
Mereka berempat berjagalah malam ini
Tanpa
kata, tiada suara
Tapi satu sama lain
Tahu kata itu
Paham suara itu.
Malam Sabtu
Berjagalah terus
Segala kemungkinan bisa terjadi
Malam ini
Maukah kita dikutuk anak-cucu
Maukah kita dikutuk anak-cucu
Menjelang akhir abad ini
Karena kita kini
berserah diri?
Tidak. Tidak bisa
Tujuh korban telah jatuh.
Tujuh korban telah jatuh.
Dibunuh
Ada pula mayat adik-adik kita yang dicuri
Dipaksa untuk tidak dimakamkan semestinya
Apakah kita hanya akan bernafas
panjang
Dan seperti biasa: sabar mengurut dada?
Tidak. Tidak bisa
Dengarkan.
Dengarkan.
Dengarkanlah di luar itu
Suara doa berjuta-juta
Rakyat yang resah
dan menanti
Mereka telah menanti lama sekali
Menderita dalam nyeri
Mereka
sedang berdoa malam ini
Dengar. Dengarlah hati-hati.
Kemis Pagi
Hari ini kita tangkap tangan-tangan
Kebatilan
Yang selama
ini mengenakan seragam kebesaran
Dan menaiki kereta-kereta kencana
Dan
menggunakan meterai kerajaan
Dengan suara lantang memperatas-namakan
Kawula
dukana yang berpuluh-juta
Hari ini kita serahkan mereka
Hari ini kita serahkan mereka
Untuk digantung di tiang
Keadilan
Penyebar bisa
fitnah dan dusta durjana
Bertahun-tahun lamanya
Mereka yang merencanakan seratus mahligai raksasa
Mereka yang merencanakan seratus mahligai raksasa
Membeli benda-benda
tanpa-harga di manca-negara
Dan memperoleh uang emas beratus-juta
Bagi diri
sendiri, di bank-bank luar negeri
Merekalah penganjur zina secara terbuka
Dan
menistakan kehormatan wanita, kaum dari ibu kita
Hari ini kita tangkap tangan-tangan
Hari ini kita tangkap tangan-tangan
Kebatilan
Kebanyakan anak-anak muda berumur
baru belasan
Yang berangkat dari rumah, pagi tanpa sarapan
Telah kita naiki
gedung-gedung itu
Mereka semua pucat, tiada lagi berdaya
Seorang ketika
digiring, tersedu
Membuka sendiri tanda kebesaran di pundaknya
Dan berjalan
perlahan dengan lemahnya.
Memang Selalu Demikian, Hadi
Setiap perjuangan selalu melahirkan
Sejumlah pengkhianat dan
para penjilat
Jangan kau gusar, Hadi
Setiap perjuangan selalu menghadapkan kita
Setiap perjuangan selalu menghadapkan kita
Pada kaum yang bimbang menghadapi
gelombang
Jangan kau kecewa, Hadi
Setiap perjuangan yang akan menang
Setiap perjuangan yang akan menang
Selalu mendatangkan pahlawan jadi-jadian
Dan
para jagoan kesiangan
Memang demikianlah halnya, Hadi.
Memang demikianlah halnya, Hadi.
Penghianatan Itu Terjadi Pada Tanggal 9 Maret
Pengkhianatan itu telah terjadi
Pengkhianatan itu terjadi
pada tanggal 9 Maret
Ada manager-manager politik
Ada despot yang lalim
Ada
ruang sidang dalam istana
Ada hulubalang
Serta senjata-senjata
Senjata imajiner telah dibidikkan ke kepala mereka tapi la la la di sana tak ada kepala tapi hu hu hu
tak ada kepala di atas bahu
Senjata imajiner telah dibidikkan ke kepala mereka tapi la la la di sana tak ada kepala tapi hu hu hu
tak ada kepala di atas bahu
Adalah tempolong ludah
Sipoa kantor dagang
Keranjang sampah
Melayang layang
Melayang layang
Ada pernyataan otomatik
Ada penjara dan maut imajiner
Generasi
yang kocak
Usahawan-usahawan politik yang kocak…
Ruang sidang dalam istana
La
la la tempolong ludah tak berkepala
Hu hu hu keranjang sampah di atas bahu
Angin menerbangkan kertas-kertas statemen
Terbang melayang layang.
Bendera Laskar
Kali pertama, di halaman kampus, pagi itu
Telah berkibar bendera laskar
Berkibar putih bagai mega
Dengan garis-garis yang merah
Karena telah dibayar dengan darah
Dia telah mendengar teriakan kita
Sepanjang jalan-jalan raya
Di atas truk tanpa tenda
Di atas jip, di depan pawai-pawai semua
Dia selalu mendahului kita
Dalam setiap gerakan
Kepadanya berbagi nestapa kita
Duka setengah tiang
Duka sejarah manusia
Yang telah lama dihinakan
Dan dimelaratkan
Di depan markas, berkibar bendera laskar
Kami semua melambaimu
Hai kawan dan lambang kami yang setia
Lambailah sejarah dari atas sana
Buat kami satu laskar
Buat generasi yang kukuh dan kekar.
Telah berkibar bendera laskar
Berkibar putih bagai mega
Dengan garis-garis yang merah
Karena telah dibayar dengan darah
Dia telah mendengar teriakan kita
Sepanjang jalan-jalan raya
Di atas truk tanpa tenda
Di atas jip, di depan pawai-pawai semua
Dia selalu mendahului kita
Dalam setiap gerakan
Kepadanya berbagi nestapa kita
Duka setengah tiang
Duka sejarah manusia
Yang telah lama dihinakan
Dan dimelaratkan
Di depan markas, berkibar bendera laskar
Kami semua melambaimu
Hai kawan dan lambang kami yang setia
Lambailah sejarah dari atas sana
Buat kami satu laskar
Buat generasi yang kukuh dan kekar.
Beberapa Urusan Kita
Tentang nasib angkatan ini
Itu adalah urusan sejarah
Tapi tentang menegakkan kebenaran
Itu urusan kita
Apakah cuaca akan cemas di atas
Hingga selalu kita bernaung mendung
Apakah jantung kita masih berdegup kencang
Dan barisan kita selalu bukit-batu-karang?
Berjagalah terus. Berjagalah!
Siang kita bila berlucut laras senapan
Malam kita bila terancam penyergapan
Berjagalah terus. Berjagalah!
Mungkin kita tak akan melihat hari nanti
Mungkin tidak kau.
Tidak aku.
Siapa bisa tahu
Tapi itu urusan Tuhan
Masalah kemenangan, ketenteraman tanpa tiran
Tentang nasib angkatan ini
Itu urusan sejarah
Tetapi tentang menegakkan kebenaran
Itu urusan kita.
Itu adalah urusan sejarah
Tapi tentang menegakkan kebenaran
Itu urusan kita
Apakah cuaca akan cemas di atas
Hingga selalu kita bernaung mendung
Apakah jantung kita masih berdegup kencang
Dan barisan kita selalu bukit-batu-karang?
Berjagalah terus. Berjagalah!
Siang kita bila berlucut laras senapan
Malam kita bila terancam penyergapan
Berjagalah terus. Berjagalah!
Mungkin kita tak akan melihat hari nanti
Mungkin tidak kau.
Tidak aku.
Siapa bisa tahu
Tapi itu urusan Tuhan
Masalah kemenangan, ketenteraman tanpa tiran
Tentang nasib angkatan ini
Itu urusan sejarah
Tetapi tentang menegakkan kebenaran
Itu urusan kita.
Surat Ini Adalah Sebuah Sajak Terbuka
Ditulis pada sebuah sore yang biasa.
Oleh Seorang warganegara biasa
Dari republik ini
Penguasa-penguasa negeri ini.
Mungkin dia
Bernama Presiden. Jenderal. Gubernur.
Barangkali dia Ketua MPRS
Taruhlah dia anggota DPR
Atau pemilik sebuah perusahaan politik (bernama partai)
Mungkin dia Mayor, Camat atau Jaksa Atau Menteri.
Apa sajalah namanya
Malahan mungkin dia saudara sendiri
Jika ingin saya tanyakan adalah
Tentang harga sebuah nyawa di negara kita
Begitu benarkah murahnya? Agaknya
Setiap bayi dilahirkan di Indonesia
Ketika tali-nyawa diembuskan Tuhan ke pusarnya
Dan menjeritkan tangis-bayinya yang pertama
Ketika sang ibu menahankan pedih rahimnya
Di kamar bersalin
Dan seluruh keluarga mendoa dan menanti ingin
Akan datangnya anggota kemanusiaan baru ini
Ketika itu tak seorang pun tahu
Bahwa 20, 22 atau 25 tahun kemudian
Bayi itu akan ditembak bangsanya sendiri
Dengan pelor yang dibayar dari hasil bumi
Serta pajak kita semua
Di jalan raya, di depan kampus atau di mana saja
Dan dia tergolek di sana jauh dari ibu, yang
Melahirkannya.
Jauh dari ayahnya
Yang juga mungkin sudah tiada
Bayi itu pecahlah dadanya.
Mungkin tembus keningnya
Darah telah mengantarkannya ke dunia
Darah kasih sayang
Darah lalu melepasnya dari dunia
Darah kebencian
Yang ingin saya tanyakan adalah
Tentang harga sebuah nyawa di negara kita
Begitu benarkah gampangnya?
Apakah mesti pembunuhan itu penyelesaian
Begitu benarkah murahnya?
Mungkin sebuah
Nama lebih penting
Disiplin tegang dan kering
Mungkin pengabdian kepada negara asing
Lebih penting Mungkin
Surat ini adalah sebuah sajak terbuka
Maafkan para studen sastra. Saya telah
Menggunakan bahasa terlalu biasa
Untuk puisi ini.
Kalaulah ini bisa disebut puisi
Maafkan saya menggunakan bahasa terlalu biasa
Karena pembunuhan-pembunuhan di negeri ini pun
Nampaknya juga sudah mulai terlalu biasa
Kita tak bisa membiarkannya lebih lama)
Kemudian kita dipenuhi pertanyaan
Benarkah nyawa begitu murah harganya?
Untuk suatu penyelesaian
Benarkah harga-diri manusia kita
Benarkah kemanusiaan kita
Begitu murah untuk umpan sebuah pidato
Sebuah ambisi
Sebuah ideologi
Sebuah coretan sejarah
Benarkah?
Refleksi Seorang Pejuang Tua
Tentara rakyat telah melucuti
Kebatilan
Setelah mereka menyimak deru sejarah
Dalam regu perkasa mulailah melangkah
Karena perjuangan pada hari-hari ini
Adalah perjuangan dari kalbu yang murni
Belum pernah kesatuan terasa begini eratnya
Kecuali dua puluh tahun yang lalu
Mahasiswa telah meninggalkan ruang-kuliahnya
Pelajar muda berlarian ke jalan-jalan raya
Mereka kembali menyeru-nyeru
Nama kau, Kemerdekaan
Seperti dua puluh tahun yang lalu
Spiral sejarah telah mengantarkan kita
Pada titik ini
Tak ada seorang pun tiran
Sanggup di tengah jalan mengangkat tangan
Dan berseru: Berhenti!
Tidak ada.
Dan kalau pun ada
Tidak bisa
Karena perjuangan pada hari-hari ini
Adalah perjuangan dimulai dari sunyi
Belum pernah kesatuan terasa begini eratnya
Kecuali duapuluh tahun yang lalu.
Kebatilan
Setelah mereka menyimak deru sejarah
Dalam regu perkasa mulailah melangkah
Karena perjuangan pada hari-hari ini
Adalah perjuangan dari kalbu yang murni
Belum pernah kesatuan terasa begini eratnya
Kecuali dua puluh tahun yang lalu
Mahasiswa telah meninggalkan ruang-kuliahnya
Pelajar muda berlarian ke jalan-jalan raya
Mereka kembali menyeru-nyeru
Nama kau, Kemerdekaan
Seperti dua puluh tahun yang lalu
Spiral sejarah telah mengantarkan kita
Pada titik ini
Tak ada seorang pun tiran
Sanggup di tengah jalan mengangkat tangan
Dan berseru: Berhenti!
Tidak ada.
Dan kalau pun ada
Tidak bisa
Karena perjuangan pada hari-hari ini
Adalah perjuangan dimulai dari sunyi
Belum pernah kesatuan terasa begini eratnya
Kecuali duapuluh tahun yang lalu.
Rijswijk 17
Malam itu kami duduk di beranda, bulan pun ada Lalu lintas terasa hingar, deru-deram sebentar-sebentar
Memanjang kawat telepon di antara tiang yang merentang
Redup temaram dalam garis-garis coretan hitam
Dengung karet beca, lewat lubang selokan tua
Tiba-tiba di langit membusur titik cahaya
Di celah deretan pohon, menyusur cemara hospital
Kami sama berdiri. ‘Bulan auronetika-kah kini?’
Benda-angkasa itu meluncur pelahan
Dalam busur lengkung di langit barat
Lewat atas atap, lewat pucuk cemara hospital
Seraya ke bumi ini memberi cahaya sinyal
Kami sama terdiam, sama menatap cahaya yang main
Sebuah transistor menyanyikan tema jazz Summertime
Busur cahaya itu makin melengkung
Di atas gedung, menyentuh bayang bangunan
Melintas sebuah majelis yang tengah bersidang
Yang masih bergumul bagi kebebasan
Dan masalah-masalah kelaparan serta kemiskinan
Sementara benda-angkasa ini menunjuk ke bulan
Dan menjelujuri rimba-belantara teknologi
Majelis ini mencoba lagi mengeja kata demokrasi
Mulai menuliskan lengkung huruf ‘d’ dari demokrasi itu
Di langit pun membusur garis cahaya
Menerangi bumi ini, mulanya temaram, lalu makin terang
Anak-anak belasan tahun berlarian riang
Di atas runtuhan slogan, menginjak potret-potret pemujaan
Berkejaran dalam main bandit-dan-lakon
Menyusur trotoar, tembok-tembok kota dan jalan raya
Menggeledahi gedung-gedung birokrasi dan mengiringi mereka
Keluar.
Berjalanlah mereka.
Kawanan serigala
Yang khianat, dan kini dipisahkan dari pimpinannya
Sesekali dia meraung pendek.
Meratapi langitnya makin senja
Meratapi bulan merah, pohon-pohon pinus lama
Dan dulu daerah perburuannya.
Meraungi betina-betinanya
Dan lantai pualam menengadahlah dia ke angkasa
Angkasa yang kini, lebih dari masalah “saya terharu”
Lebih dari masalah bintang-bintang astrologi
Angka-angka komputer, eksperimen dan presisi teknologi!
Dan di sini, orang bergulat melawan anti-logika masih
Masalah empat-kebebasan, masalah kurangnya proteina
Elektrifikasi dan cetak biru yang sia-sia
Seseorang berjalan, lalu puluhan berjalan, ribuan
Di bawah langit terik lagi, kecemasan lagi
Di antara lontaran cakram-cakram api
Seperti sebagian gelombang lama, pelahan meninggi
Membentur seberang sana.
Berhenti
Dan berteriak: Hei kau-kau yang di
Kalian! Hei… kau
Ya: kau!
Dan tiba-tiba semua terdiam.
Terdiam.
Hanya terdiam
Di Jakarta yang tua,
Jakarta yang Betawi
Jakarta yang Ciliwung
Ketika dari Buitenzorg bergerak kereta-kencana ke utara
Dengan dua belas kuda putih sang Gubernur
Dalam derap-dua di jalan tanah
Tanah dijarah, bumi yang dijajah
Sekian kali, sekian lama, oleh sekian orang
Orang asing dan beberapa pribumi
Di Jakarta sini, ya, Jakarta yang Betawi
Jakarta yang Rijswijk, yang Meester, yang asli Betawi
Jakarta yang Empat Serangkai, yang Saiko Sikikan Kakka
Jakarta yang tugu, yang syauvinis, yang maksiat
Tapi semuanya
Tapi semuanya Jakarta yang Ciliwung
Jakarta yang Ciliwung
Mengalirlah kau Ciliwung, mengalirlah tenang
Mengalirlah lamban dengan kepekaan dan kecoklatanmu
Bersama lempung, bersama ampas, bersama sampah
Bersama sejarah
Dan malam ini kau surut, malu pada bulan di atas
Gusar pada benda angkasa yang membusur pelahan
Menyusur hasil-akhir perhitungan kosmografi
Sementara kau belum sempat-sempat membersihkan diri
Masalah saniter, perencanaan kota dan semacamnya
Dan di atas kau jembatan, lintas kawat dan flamboyan
Gugus-gugus bunga merah yang semakin rendah
Gugur ke sungai, gugur, hanyut dalam spiral
Bayang-bayang yang coklat
Bayang-bayang yang bergoyang
Perempuan mencuci
Anak telanjang yang mandi
Burung layang-layang melayang
Dalam senja hilang bayang-bayang
Di belakang barikade yang panjang
Kawat duri bersilang
Dinding sungai yang curam
Rumah-jaga terdiam
Karaben bersangkur terhunjam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar