Senin, 26 September 2011

Kumpulan Sajak Taufik Ismail "Benteng"


Benteng

Sesudah siang panas yang meletihkan
Sehabis tembakan-tembakan yang tak bisa kita balas 
Dan kita kembali ke kampus ini berlindung 
Bersandar dan berbaring, ada yang merenung

Di lantai bungkus nasi bertebaran 
Dan para dermawan tidak dikenal 
Kulit duku dan pecahan kulit rambutan 
Lewatlah di samping
Kontingen Bandung Ada yang berjaket Bogor. 
Mereka dari mana-mana 
Semuanya kumal, semuanya tak bicara 
Tapi kita tidak akan terpatahkan 
Oleh seribu senjata dan seribu tiran

Tak sempat lagi kita pikirkan 
Keperluan-keperluan kecil seharian Studi, kamar-tumpangan dan percintaan 
Kita tak tahu apa yang akan terjadi sebentar malam 
Kita mesti siap saban waktu, siap saban jam.

06:30

Di pusat Harmoni 
Pada papan adpertensi (Arloji Castell) Tertulis begini: “Dunia Kini Membutuhkan Waktu Yang Tepat”

Di belakangnya langit pagi 
Tembok sungai dan kawat berduri 
Pengawalan berjaga. 
Di istana

Arloji Castell Berkata pada setiap yang lewat “Dunia Kini Membutuhkan Waktu Yang Tepat”.

Silhuet

Gerimis telah menangis 
Di atas bumi yang lelah
Angin jalanan yang panjang
Tak ada rumah. 
Kita tak berumah 
Kita hanya bayang-bayang

Gerimis telah menangis 
Di atas bumi yang letih 
Di atas jasad yang pedih
Kita lapar. 
Kita amat lapar Bayang-bayang yang lapar

Gerimis telah menangis 
Di atas bumi yang sepi
Sehabis pawai genderang 
Angin jalanan yang panjang
Menyusup-nyusup 
Menusuk-nusuk
Bayang-bayang berjuta 
Berjuta bayang-bayang

Di bawah bayangan pilar 
Di bawah bayangan emas
Berjuta bayang-bayang 
Menangisi gerimis 
Menangisi gunung api
Kabut yang ungu
Membelai perlahan 
Hutan-hutan Di selatan.

Bendera

Mereka yang berpakaian hitam 
Telah berhenti di depan sebuah rumah 
Yang mengibarkan bendera duka 
Dan masuk dengan paksa

Mereka yang berpakaian hitam 
Telah menurunkan bendera itu 
Di hadapan seorang ibu yang tua “Tidak ada pahlawan meninggal dunia!”

Mereka yang berpakaian hitam 
Dengan hati yang kelam 
Telah meninggalkan rumah itu 
Tergesa-gesa

Kemudian ibu tua itu 
Pelahan menaikkan kembali 
Bendera yang duka 
Ke tiang yang duka.


Nasihat-Nasihat Kecil Orang Tua Pada Anaknya Berangkat Dewasa

Jika adalah yang harus kaulakukan 
Ialah menyampaikan 
Kebenaran 
Jika adalah yang tidak bisa dijual-belikan 
Ialah yang bernama keyakinan 
Jika adalah yang harus kautumbangkan 
Ialah segala pohon-pohon kezaliman 
Jika adalah orang yang harus kauagungkan 
Ialah hanya Rasul Tuhan 
Jika adalah kesempatan memilih mati 
Ialah syahid di jalan Ilahi.

Persetujuan

Momentum telah dicapai. 
Kita 
Dalam estafet amat panjang 
Menyebar benih ini di bumi 
Telah sama berteguh hati

Adikku Kappi, engkau sangat muda 
Mari kita berpacu dengan sejarah 
Dan kini engkau di muka!

La Strada atau Jalan Terpanggang Ini

Kini anak-anak itu telah berpawai pula 
Dipanggang panas matahari ibukota 
Setiap lewat depan kampus berpagar senjata 
Mereka berteriak dengan suara tinggi “Hidup kakak-kakak kami!”

Mereka telah direlakan ibu bapa 
Warganegara biasa negeri ini 
Yang melepas dengan doa 
Setiap pagi

Kaki-kaki kecil yang tak kenal lelah 
Kini telah melangkahkan sejarah.

Dari Ibu Seorang Demonstran

“Ibu telah merelakan kalian 
Untuk berangkat demonstrasi 
Karena kalian pergi menyempurnakan 
Kemerdekaan negeri ini

Ya, ibu tahu, mereka tidak menggunakan gada 
Atau gas airmata 
Tapi langsung peluru tajam 
Tapi itulah yang dihadapi Ayah kalian almarhum
Delapan belas tahun yang lalu

Pergilah pergi, setiap pagi 
Setelah dahi dan pipi kalian 
Ibu ciumi 
Mungkin ini pelukan penghabisan (Ibu itu menyeka sudut matanya)

Tapi ingatlah, sekali lagi 
Jika logam itu memang memuat nama kalian (Ibu itu tersedu sesaat)

Ibu relakan 
Tapi jangan di saat terakhir 
Kauteriakkan kebencian 
Atau dendam kesumat 
Pada seseorang 
Walaupun betapa zalimnya 
Orang itu 
Niatkanlah menegakkan kalimah Allah 
Di atas bumi kita ini 
Sebelum kalian melangkah setiap pagi 
Sunyi dari dendam dan kebencian 
Kemudian lafazkan kesaksian pada Tuhan 
Serta Rasul kita yang tercinta

Pergilah pergi Iwan, Ida dan Hadi 
Pergilah pergi 
Pagi ini.”

(Mereka telah berpamitan dengan ibu dicinta 
Beberapa saat tangannya meraba rambut mereka 
Dan berangkatlah mereka bertiga 
Tanpa menoleh lagi, tanpa kata-kata).

Yell

Tiga truk terbuka 
Lewat depan rumah 
Mereka menyanyi gembira “Buat Apa Sekolah”

Tas buku di tangan kiri 
Dibakar matahari, tak bertopi 
Mereka meneriakkan 
Kebenaran 
Yang telah lama dibungkamkan.

Oda Bagi Seorang Supir Truk

Sebuah truk lama 
Dengan supir bersahaja 
Telah beruban dan agak bungkuk 
Di atas stirnya tertidur 
Di tepi jalan yang sepi 
Di suatu senja musim ini

Dalam tidurnya ia bermimpi 
Jalanan telah rata. 
Ditempuhnya 
Dengan sebuah truk baru 
Dengan klakson yang bisa berlagu 
Dan di sepanjang jalanan 
Beribu anak-anak demonstran 
Tersenyum padanya, mengelu-elukan “Hiduplah bapak supir yang tua 
Yang dulu berjuang bersama kami 
Selama demonstrasi!”

Di tepi sebuah jalan di ibukota 
Ketika udara panas, di suatu senja 
Seorang supir lusuh dengan truk yang tua 
Duduk sendiri terkantuk-kantuk S
emakin letih, semakin bungkuk.

Horison

Kami tidak bisa dibubarkan 
Apalagi dicoba dihalaukan 
Dari gelanggang ini

Karena ke kemah kami
Sejarah sedang singgah 
Dan mengulurkan tangannya yang ramah

Tidak ada lagi sekarang waktu 
Untuk merenung panjang, untuk ragu-ragu 
Karena jalan masih jauh 
Karena Arif telah gugur 
Dan luka-luka duapuluh-satu.

Rendez-Vous

Sejarah telah singgah 
Ke kemah kami
Ia menegur sangat ramah 
Dan mengajak kami pergi

“Saya sudah mengetuk-ngetuk 
Pintu yang lain,” Katanya “Tapi amat heran 
Mereka berkali-kali menolakku 
Di ambang pintu.”

Kini kami beratus-ribu
Mengiringkan langkah 
Sejarah 
Dalam langkah yang seru 
Dan semakin cepat 
Semakin dahsyat 
Menderu-deru
Dalam angin berputar 
Badai peluru 
Topan bukit batu!

Kata Itu, Suara Itu

Tiga buah panser kavaleri 
Membayang hitam malam ini 
Kami sama berjaga. 
Semua hening 
Seorang anak empat belas tahun 
Bertukar api rokok dengan kopral ini 
Gugus api berlompatan Cocktail Molotov di sudut berjajaran 
Sebagian tidur, sebagian berkawal 
Mungkin sebentar lagi mereka dibangunkan 
Atau pagi-pagi sekali bergerak 
Menyandang AK, perajurit ini berpapasan 
Dengan yang berjaket kuning, dalam gelap 
Tanpa kata, tanpa suara 
Ruangan yang suram 
Langit yang hitam 
Tiada kata, tiada suara 
Tapi satu sama lain tahu kata itu 
Tahu suara itu 
Suara bumi ini 
Suara berjuta 
Mereka berempat berjagalah malam ini 
Tanpa kata, tiada suara 
Tapi satu sama lain 
Tahu kata itu 
Paham suara itu.

Malam Sabtu

Berjagalah terus 
Segala kemungkinan bisa terjadi
Malam ini

Maukah kita dikutuk anak-cucu 
Menjelang akhir abad ini 
Karena kita kini berserah diri? 
Tidak. Tidak bisa

Tujuh korban telah jatuh.
Dibunuh 
Ada pula mayat adik-adik kita yang dicuri 
Dipaksa untuk tidak dimakamkan semestinya 
Apakah kita hanya akan bernafas panjang 
Dan seperti biasa: sabar mengurut dada? 
Tidak. Tidak bisa

Dengarkan. 
Dengarkanlah di luar itu 
Suara doa berjuta-juta 
Rakyat yang resah dan menanti 
Mereka telah menanti lama sekali 
Menderita dalam nyeri 
Mereka sedang berdoa malam ini 
Dengar. Dengarlah hati-hati.

Kemis Pagi

Hari ini kita tangkap tangan-tangan 
Kebatilan 
Yang selama ini mengenakan seragam kebesaran 
Dan menaiki kereta-kereta kencana 
Dan menggunakan meterai kerajaan 
Dengan suara lantang memperatas-namakan 
Kawula dukana yang berpuluh-juta

Hari ini kita serahkan mereka 
Untuk digantung di tiang 
Keadilan 
Penyebar bisa fitnah dan dusta durjana 
Bertahun-tahun lamanya

Mereka yang merencanakan seratus mahligai raksasa 
Membeli benda-benda tanpa-harga di manca-negara 
Dan memperoleh uang emas beratus-juta 
Bagi diri sendiri, di bank-bank luar negeri 
Merekalah penganjur zina secara terbuka 
Dan menistakan kehormatan wanita, kaum dari ibu kita

Hari ini kita tangkap tangan-tangan 
Kebatilan 
Kebanyakan anak-anak muda berumur baru belasan 
Yang berangkat dari rumah, pagi tanpa sarapan 
Telah kita naiki gedung-gedung itu 
Mereka semua pucat, tiada lagi berdaya 
Seorang ketika digiring, tersedu 
Membuka sendiri tanda kebesaran di pundaknya 
Dan berjalan perlahan dengan lemahnya.

Memang Selalu Demikian, Hadi

Setiap perjuangan selalu melahirkan 
Sejumlah pengkhianat dan para penjilat 
Jangan kau gusar, Hadi

Setiap perjuangan selalu menghadapkan kita 
Pada kaum yang bimbang menghadapi gelombang 
Jangan kau kecewa, Hadi

Setiap perjuangan yang akan menang 
Selalu mendatangkan pahlawan jadi-jadian 
Dan para jagoan kesiangan

Memang demikianlah halnya, Hadi.



Penghianatan Itu Terjadi Pada Tanggal 9 Maret

Pengkhianatan itu telah terjadi
Pengkhianatan itu terjadi pada tanggal 9 Maret 
Ada manager-manager politik 
Ada despot yang lalim 
Ada ruang sidang dalam istana 
Ada hulubalang 
Serta senjata-senjata

Senjata imajiner telah dibidikkan ke kepala mereka tapi la la la di sana tak ada kepala tapi hu hu hu
tak ada kepala di atas bahu 
Adalah tempolong ludah 
Sipoa kantor dagang 
Keranjang sampah

Melayang layang 
Ada pernyataan otomatik 
Ada penjara dan maut imajiner 
Generasi yang kocak 
Usahawan-usahawan politik yang kocak… 
Ruang sidang dalam istana 
La la la tempolong ludah tak berkepala 
Hu hu hu keranjang sampah di atas bahu 
Angin menerbangkan kertas-kertas statemen 
Terbang melayang layang.


Bendera Laskar

Kali pertama, di halaman kampus, pagi itu
Telah berkibar bendera laskar
Berkibar putih bagai mega
Dengan garis-garis yang merah
Karena telah dibayar dengan darah

Dia telah mendengar teriakan kita
Sepanjang jalan-jalan raya
Di atas truk tanpa tenda
Di atas jip, di depan pawai-pawai semua
Dia selalu mendahului kita
Dalam setiap gerakan
Kepadanya berbagi nestapa kita
Duka setengah tiang
Duka sejarah manusia
Yang telah lama dihinakan
Dan dimelaratkan

Di depan markas, berkibar bendera laskar
Kami semua melambaimu
Hai kawan dan lambang kami yang setia
Lambailah sejarah dari atas sana
Buat kami satu laskar
Buat generasi yang kukuh dan kekar.

Beberapa Urusan Kita

Tentang nasib angkatan ini
Itu adalah urusan sejarah
Tapi tentang menegakkan kebenaran
Itu urusan kita

Apakah cuaca akan cemas di atas
Hingga selalu kita bernaung mendung
Apakah jantung kita masih berdegup kencang
Dan barisan kita selalu bukit-batu-karang?

Berjagalah terus. Berjagalah!
Siang kita bila berlucut laras senapan
Malam kita bila terancam penyergapan
Berjagalah terus. Berjagalah!

Mungkin kita tak akan melihat hari nanti
Mungkin tidak kau.
Tidak aku.
Siapa bisa tahu
Tapi itu urusan Tuhan
Masalah kemenangan, ketenteraman tanpa tiran

Tentang nasib angkatan ini
Itu urusan sejarah
Tetapi tentang menegakkan kebenaran
Itu urusan kita.

Surat Ini Adalah Sebuah Sajak Terbuka

Surat ini adalah sebuah sajak terbuka
Ditulis pada sebuah sore yang biasa.
Oleh Seorang warganegara biasa
Dari republik ini

Surat ini ditujukan kepada
Penguasa-penguasa negeri ini.
Mungkin dia
Bernama Presiden. Jenderal. Gubernur.
Barangkali dia Ketua MPRS
Taruhlah dia anggota DPR
Atau pemilik sebuah perusahaan politik (bernama partai)
Mungkin dia Mayor, Camat atau Jaksa Atau Menteri.
Apa sajalah namanya
Malahan mungkin dia saudara sendiri

Jika ingin saya tanyakan adalah
Tentang harga sebuah nyawa di negara kita
Begitu benarkah murahnya? Agaknya
Setiap bayi dilahirkan di Indonesia
Ketika tali-nyawa diembuskan Tuhan ke pusarnya
Dan menjeritkan tangis-bayinya yang pertama
Ketika sang ibu menahankan pedih rahimnya
Di kamar bersalin
Dan seluruh keluarga mendoa dan menanti ingin
Akan datangnya anggota kemanusiaan baru ini
Ketika itu tak seorang pun tahu
Bahwa 20, 22 atau 25 tahun kemudian
Bayi itu akan ditembak bangsanya sendiri
Dengan pelor yang dibayar dari hasil bumi
Serta pajak kita semua
Di jalan raya, di depan kampus atau di mana saja
Dan dia tergolek di sana jauh dari ibu, yang
Melahirkannya.
Jauh dari ayahnya
Yang juga mungkin sudah tiada
Bayi itu pecahlah dadanya.
Mungkin tembus keningnya
Darah telah mengantarkannya ke dunia
Darah kasih sayang
Darah lalu melepasnya dari dunia
Darah kebencian

Yang ingin saya tanyakan adalah
Tentang harga sebuah nyawa di negara kita
Begitu benarkah gampangnya?
Apakah mesti pembunuhan itu penyelesaian
Begitu benarkah murahnya?
Mungkin sebuah
Nama lebih penting
Disiplin tegang dan kering
Mungkin pengabdian kepada negara asing
Lebih penting Mungkin

Surat ini adalah sebuah sajak terbuka
Maafkan para studen sastra. Saya telah
Menggunakan bahasa terlalu biasa
Untuk puisi ini.
Kalaulah ini bisa disebut puisi
Maafkan saya menggunakan bahasa terlalu biasa
Karena pembunuhan-pembunuhan di negeri ini pun
Nampaknya juga sudah mulai terlalu biasa
Kita tak bisa membiarkannya lebih lama)
Kemudian kita dipenuhi pertanyaan
Benarkah nyawa begitu murah harganya?
Untuk suatu penyelesaian
Benarkah harga-diri manusia kita
Benarkah kemanusiaan kita
Begitu murah untuk umpan sebuah pidato
Sebuah ambisi
Sebuah ideologi
Sebuah coretan sejarah
Benarkah?

Refleksi Seorang Pejuang Tua

Tentara rakyat telah melucuti
Kebatilan
Setelah mereka menyimak deru sejarah
Dalam regu perkasa mulailah melangkah
Karena perjuangan pada hari-hari ini
Adalah perjuangan dari kalbu yang murni
Belum pernah kesatuan terasa begini eratnya
Kecuali dua puluh tahun yang lalu

Mahasiswa telah meninggalkan ruang-kuliahnya
Pelajar muda berlarian ke jalan-jalan raya
Mereka kembali menyeru-nyeru
Nama kau, Kemerdekaan
Seperti dua puluh tahun yang lalu

Spiral sejarah telah mengantarkan kita
Pada titik ini
Tak ada seorang pun tiran
Sanggup di tengah jalan mengangkat tangan
Dan berseru: Berhenti!

Tidak ada.
Dan kalau pun ada
Tidak bisa

Karena perjuangan pada hari-hari ini
Adalah perjuangan dimulai dari sunyi
Belum pernah kesatuan terasa begini eratnya
Kecuali duapuluh tahun yang lalu.

Rijswijk 17

Malam itu kami duduk di beranda, bulan pun ada 
Lalu lintas terasa hingar, deru-deram sebentar-sebentar 
Memanjang kawat telepon di antara tiang yang merentang 
Redup temaram dalam garis-garis coretan hitam 
Dengung karet beca, lewat lubang selokan tua 
Tiba-tiba di langit membusur titik cahaya 
Di celah deretan pohon, menyusur cemara hospital
Kami sama berdiri. ‘Bulan auronetika-kah kini?’ 
Benda-angkasa itu meluncur pelahan 
Dalam busur lengkung di langit barat 
Lewat atas atap, lewat pucuk cemara hospital 
Seraya ke bumi ini memberi cahaya sinyal 
Kami sama terdiam, sama menatap cahaya yang main 
Sebuah transistor menyanyikan tema jazz Summertime 
Busur cahaya itu makin melengkung 
Di atas gedung, menyentuh bayang bangunan 
Melintas sebuah majelis yang tengah bersidang 
Yang masih bergumul bagi kebebasan 
Dan masalah-masalah kelaparan serta kemiskinan 
Sementara benda-angkasa ini menunjuk ke bulan 
Dan menjelujuri rimba-belantara teknologi 
Majelis ini mencoba lagi mengeja kata demokrasi
Mulai menuliskan lengkung huruf ‘d’ dari demokrasi itu 
Di langit pun membusur garis cahaya 
Menerangi bumi ini, mulanya temaram, lalu makin terang
Anak-anak belasan tahun berlarian riang 
Di atas runtuhan slogan, menginjak potret-potret pemujaan 
Berkejaran dalam main bandit-dan-lakon 
Menyusur trotoar, tembok-tembok kota dan jalan raya 
Menggeledahi gedung-gedung birokrasi dan mengiringi mereka
Keluar. 
Berjalanlah mereka.
Kawanan serigala 
Yang khianat, dan kini dipisahkan dari pimpinannya 
Sesekali dia meraung pendek. 
Meratapi langitnya makin senja 
Meratapi bulan merah, pohon-pohon pinus lama 
Dan dulu daerah perburuannya.
Meraungi betina-betinanya 
Dan lantai pualam menengadahlah dia ke angkasa
Angkasa yang kini, lebih dari masalah “saya terharu” 
Lebih dari masalah bintang-bintang astrologi 
Angka-angka komputer, eksperimen dan presisi teknologi! 
Dan di sini, orang bergulat melawan anti-logika masih
Masalah empat-kebebasan, masalah kurangnya proteina 
Elektrifikasi dan cetak biru yang sia-sia 
Seseorang berjalan, lalu puluhan berjalan, ribuan 
Di bawah langit terik lagi, kecemasan lagi 
Di antara lontaran cakram-cakram api 
Seperti sebagian gelombang lama, pelahan meninggi 
Membentur seberang sana. 
Berhenti 
Dan berteriak: Hei kau-kau yang di sana
Kalian! Hei… kau
Ya: kau! 

Dan tiba-tiba semua terdiam.
Terdiam. 
Hanya terdiam
Di Jakarta yang tua,
Jakarta yang Betawi 
Jakarta yang Ciliwung 
Ketika dari Buitenzorg bergerak kereta-kencana ke utara 
Dengan dua belas kuda putih sang Gubernur 
Dalam derap-dua di jalan tanah 
Tanah dijarah, bumi yang dijajah 
Sekian kali, sekian lama, oleh sekian orang 
Orang asing dan beberapa pribumi 
Di Jakarta sini, ya, Jakarta yang Betawi 
Jakarta yang Rijswijk, yang Meester, yang asli Betawi 
Jakarta yang Empat Serangkai, yang Saiko Sikikan Kakka 
Jakarta yang tugu, yang syauvinis, yang maksiat 
Tapi semuanya 
Tapi semuanya Jakarta yang Ciliwung
Jakarta yang Ciliwung 
Mengalirlah kau Ciliwung, mengalirlah tenang 
Mengalirlah lamban dengan kepekaan dan kecoklatanmu 
Bersama lempung, bersama ampas, bersama sampah 
Bersama sejarah 
Dan malam ini kau surut, malu pada bulan di atas 
Gusar pada benda angkasa yang membusur pelahan 
Menyusur hasil-akhir perhitungan kosmografi 
Sementara kau belum sempat-sempat membersihkan diri 
Masalah saniter, perencanaan kota dan semacamnya 
Dan di atas kau jembatan, lintas kawat dan flamboyan 
Gugus-gugus bunga merah yang semakin rendah 
Gugur ke sungai, gugur, hanyut dalam spiral 
Bayang-bayang yang coklat
Bayang-bayang yang bergoyang 
Perempuan mencuci 
Anak telanjang yang mandi 
Burung layang-layang melayang 
Dalam senja hilang bayang-bayang 
Di belakang barikade yang panjang 
Kawat duri bersilang 
Dinding sungai yang curam 
Rumah-jaga terdiam 
Karaben bersangkur terhunjam. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar