Jumat, 23 September 2011

Kumpulan Sajak Taufik Ismail "Tirani"

Kumpulan puisi ini dikarang oleh Taufik Ismail pada tahun 1960an.


Sebuah Jaket Berlumur Darah

Sebuah jaket berlumur darah
Kami semua telah menatapmu
Telah berbagi duka yang agung
Dalam kepedihan bertahun-tahun

Sebuah sungai membatasi kita
Di bawah terik matahari Jakarta
Antara kebebasan dan penindasan
Berlapis senjata dan sangkur baja

Akan mundurkah kita sekarang
Seraya mengucapkan ‘Selamat tinggal perjuangan’
Berikrar setia kepada tirani
Dan mengenakan baju kebesaran sang pelayan?

Spanduk kumal itu, ya spanduk itu
Kami semua telah menatapmu
Dan di atas bangunan-bangunan
Menunduk bendera setengah tiang

Pesan itu telah sampai kemana-mana
Melalui kendaraan yang melintas
Abang-abang beca, kuli-kuli pelabuhan
Teriakan-teriakan di atap bis kota, pawai-pawai perkasa
Prosesi jenazah ke pemakaman
Mereka berkata Semuanya berkata
LANJUTKAN PERJUANGAN!


Merdeka Utara

Dua buah panser Saladin 
Dengan roda-roda berat 
Rintangan-rintangan jalan 
Selebihnya kesenyapan

Dua buah tikungan yang bisu
Seseorang memegang bren 
Langit pagi yang biru 
Menjadi ungu, menjadi ungu. 

Harmoni

Enam barikade telah dipasang 
Pagi ini 
Ketika itu langit pucat 
Di atas Harmoni

Senjata dan baju-baju perang 
Depan kawat berduri  
Kota yang pengap 
Gelisah menanti

Bendera setengah tiang 
Di atas Gayatri Seorang ibu menengadah 
Menyeka matanya yang basah.


Jalan Segara

Di sinilah penembakan
Kepengecutan Dilakukan

Ketika pawai bergerak 
Dalam panas matahari

Dan pelor pembayar pajak 
Negeri ini

Ditembuskan ke punggung 
Anak-anaknya sendiri.

Karangan Bunga

Tiga anak kecil 
Dalam langkah malu-malu 
Datang ke Salemba 
Sore itu

‘Ini dari kami bertiga 
Pita hitam pada karangan bunga
Sebab kami ikut berduka
Bagi kakak yang ditembak mati 
Siang tadi.’

Salemba

Alma Mater, janganlah bersedih 
Bila arakan ini bergerak pelahan 
Menuju pemakaman 
Siang ini

Anakmu yang berani 
Telah tersungkur ke bumi 
Ketika melawan tirani.

Tableau Menjelang Malam

Deretan bangunan. 
Abu-abu Langit hitam dan sten.
Menunggu 
Lalu lintas sepi 
Semua menanti 
Jendela bertutupan. 
Apa akan terjadi 
Di sini Semua menanti. 

Dari Catatan Demonstran

Inilah peperangan
Tanpa jenderal, tanpa senapan
Pada hari-hari yang mendung 
Bahkan tanpa harapan

Di sinilah keberanian diuji 
Kebenaran dicoba dihancurkan 
Pada hari-hari berkabung 
Di depan menghadang ribuan lawan.



Percakapan Angkasa

“Siapa itu korban di bumi
Hari ini?”
Tanya Awan
Pada Angin

“Seorang anak muda
Dia amat berani,”
Jawab Angin

“Berembuslah kau, dan hentikan saya
Tepat di atas kota ini.”

Awan dan Angin
Berhentilah siang hari
Di atas negeri ini

“Wahai, teramat panjangnya
Arakan jenazah Di bawah!
Raja manakah kiranya
Yang wafat itu?”
“Bukan raja,”
Jawab Angin

“Pangeran agaknya?”
“Pangeran bukan
Dia hanya kawula biasa
Seorang anak muda.”

“Tapi mengapa begitu banyak 
Orang berjajar di tepi jalan 
Ibu-ibu membagikan minuman 
Di depan rumah-rumah mereka 
Orang-orang melontarkan buah-buahan 
Dalam arak-arakan 
Dan saya lihat pula 
Mereka bertangisan 
Di kuburan 
Siapa dia sebenarnya Wahai Sang Angin?”
“Dialah anak muda yang perkasa 
Di antara kawan-kawannya 
Yang terluka 
Dia telah mendahului menghadap Ilahi 
Seluruh negeri ini 
Mengibarkan bendera nestapa baginya 
Menangisi kepergiannya 
Dalam duka
Seluruh negeri ini 
Yang terlalu lama dizalimi 
Telah belajar kembali 
Untuk menjadi berani 
Dalam berbuat 
Untuk menjadi berani 
Menghadapi mati.”
Kata Sang Awan pula:“Sangat menarik sekali Kisahmu, ya Angin 
Tapi sebelum kita pergi 
Mengembara ke bagian bumi yang lain
Katakan pada saya
Karena kau tahu banyak
Tentang negeri ini
Katakan pada saya
Untuk apa anak muda itu mati?”

Sang Angin tersenyum dan berkata:
“Untuk dua patah kata, dia
Rela mati
Dalam usia muda sekali.”

“Apa gerangan itu?”Tanya Sang Awan
“Menegakkan Kebenaran,”sahut Sang Angin“Dan Keadilan.”
Dan mereka berdua
Mulailah ngembara lagi
Sementara senja
Turun ke bumi

Geometri

Dan titik ini 
Sedang kita tarik garis lurus 
Ke titik berikutnya

Segala komponen 
Telah jelas. 
Dalam soal 
Yang sederhana.

Aviasi

Sebuah heli melayang-layang 
Pada siang yang panas 
Di langit ibu kota

Berjuta mata memandang 
Tengadah ke atas 
Tak lagi bertanya-tanya

Setiap kita jumpa di jalan 
Sejak jam lima tadi pagi 
Tak ada yang bimbang lagi 
Telah kita lumpuhkan urat nadi 
Sepi dan tegang di jalanan.

Mimbar

Dan mimbar ini telah dibicarakan 
Pikiran-pikiran dunia 
Suara-suara kebebasan 
Tanpa ketakutan

Dan mimbar ini diputar lagi 
Sejarah kemanusiaan 
Pengembangan teknologi 
Tanpa ketakutan

Di kampus ini 
Telah dipahatkan 
Kemerdekaan

Segala despot dan tiran 
Tidak bisa merobohkan 
Mimbar kami.

Arithmatik Sederhana

Menyimak Adham Arsyad

Selama ini kita selalu
Ragu-ragu

Dan berkata:
Dua tambah dua
Mudah-mudahan sama dengan empat.

Depan Sekretariat Negara

Setelah korban diusung 
Tergesa-gesa Ke luar jalanan

Kami semua menyanyi ‘Gugur Bunga’ 
Perlahan-lahan

Perajurit ini 
Membuka baretnya 
Airmata tak tertahan

Di puncak Gayatri 
Menunduklah bendera 
Di belakangnya segumpal awan.

22 Tahun Kemudian

Ya anakku. 
Saya telah menuliskannya untukmu 22 tahun yang lalu saya tuliskan ini untuk kalian Ayahmu, waktu itu, pada suatu musim hujan 
Ketika itu tanpa kerja-tetap dan gelandangan 
Di sebuah kamar yang pengap di ibukota 
Duduk dan mencoba mencatat sajak ini

Ayah harus menuliskan ini. 
Harus 
Walaupun saya belum tahu, apakah saya 
Kelak akan mempunyai seorang Dayat 
Dan seorang Ina yang bermata-jeli 
Atau tidak punya anak sama sekali 
Tapi saya harus menuliskan ini. 
Harus.

(Di luar jam malam telah jatuh  
Ada catatan-catatan kecil di atas meja 
Derai-derai gerimis mulai meluruh 
Di antara deru patroli kota)

Apakah yang pertama harus dituliskan 
Bila begitu banyak yang tiada terucapkan? 
Di atas meja, catatan-catatan kecil kawanku yang setia 
Menggapai-gapai dalam angin dari jendela

Dari tingkap, menjulur piramid dan tugu-tugu 
Kota slogan dan menara, kotamu dulu 
Tanah gunung-api dan hama, tanahmu dulu 
Pedesaan yang malang, kuli-kuli pelabuhan yang tersemu 
Dalam pidato-pidato seribu jam dari seribu mimbar 
Dalam pawai-pawai genderang dan slogan berkibar-kibar 
Bertuliskan sepatah kata: Tirani Ya anakku. Tirani dengan t besar Kenistaan dengan panjinya tinggi 22 tahun yang lalu. 
Sungguh tak terpikirkan 
Bagi kalian saat ini Terbayangkan, apa pula Nyeri perjuangan yang dinistakan

(Di luar jam malam telah jauh 
Saya lanjutkan catatan-catatan ini buat kalian 
Ketika tetesan embun mulai jatuh 
Tanpa suara, perlahan-lahan)

Berpikir ganda. 
Apa yang diucapkan 
Berlawan dengan suara hati 
Rencana-rencana besar, kemewahan dan perempuan 
Dipersanjungkan dalam pesta-pesta ingkar insani 
Pengejaran, penahanan tanpa pengadilan 
Penindasan dan perang saudara
Berbunuh-bunuhan (Hadirin diminta berdiri, karena akan masuk ruangan: Penjilat-penjilat dan pelayan-pelayan besar) 
Keangkuhan disebar bagai api hutan terbakar 
Di atas tanah yang dibelah-belah dan diadu sesamanya! 
(Arwah lelaki itu tersenyum, Machiavelli namanya) 
Berjuta-juta kami berdiri.
Lesu dan lunglai 
Sehabis rapat besar dan pawai-pawai 
Yang tidak memikirkan pemborosan dan wabah penyakit 
Tidak membicarakan harga-harga dan nestapa kemiskinan

Pemborosan? 
Siapa peduli itu Harga? Harga apa? Apa harga diri kau? 
Hafalkan singkatan-singkatan ini. 
Berteriaklah 
Dengan dengki dan acungkan tangan terkepal 
Tengadahlah. 
Pandang panji-panji ini “Hormati!” 
Bertuliskan sepatah kata: Tirani Ya anakku. Tirani dengan t besar 
Bagi kalian saat ini, sungguh tak terpikirkan 
Tapi apa yang kau nikmati hari ini 
Kebebasan. 
Kebebasan dengan k besar 
Nikmatilah, nikmatilah. 
Dan ia 
Bukanlah jatuh dan awan gemawan 
Tapi ia lahir dari duka perjuangan 
Ia lahir melalui cercaan nista 
Melalui kertas-kertas stensil dari tangan ke tangan 
Melalui tembok-tembok kota yang sabar
Dilumuri seribu kaleng cat 
Rapat-rapat serta seribu isyarat 
Di bawah ancaman laras kekuasaan 
Yang dibidikkan ke tengkukmu 
Ia lahir dari teriakan-teriakan mahasiswa 
Dalam pawai-pawai perkasa 
Sungguh tak terpikirkan 
Bila kita tidak bersama Tuhan 
Bagi kalian sungguh tak terpikirkan kini 
Juga bagi ayah (22 tahun yang lalu), ketika 
Menuliskan sajak ini 
Di kamar yang sepi 
Sendiri

(Di luar jam malam hampir berakhir 
Sementara ayah sudahi catatan-catatan ini 
Ketika subuh dan fajar di langit mengalir 
Dan harus berkemas untuk berjalan lagi).

Seorang Tukang Rambutan pada Istrinya

“Tadi siang ada yang mati,
Dan yang mengantar banyak sekali
Ya. Mahasiswa-mahasiswa itu.
Anak-anak sekolah
Yang dulu berteriak: dua ratus, dua ratus!
Sampai bensin juga turun harganya
Sampai kita bisa naik bis pasar yang murah pula
Mereka kehausan dalam panas bukan main
Terbakar muka di atas truk terbuka
Saya lemparkan sepuluh ikat rambutan kita, bu
Biarlah sepuluh ikat juga
Memang sudah rezeki mereka
Mereka berteriak-teriak kegirangan dan berebutan
Seperti anak-anak kecil “Hidup tukang rambutan! Hidup tukang rambutan!”
Dan menyoraki saya. Betul bu, menyoraki saya
Dan ada yang turun dari truk, bu Mengejar dan menyalami saya “Hidup pak rambutan!” sorak mereka
Saya dipanggul dan diarak-arak sebentar
“Hidup pak rambutan!” sorak mereka “Terima kasih, pak, terima kasih! Bapak setuju kami, bukan?”
Saya mengangguk-angguk. Tak bisa bicara “Doakan perjuangan kami, pak,”
Mereka naik truk kembali
Masih meneriakkan terima kasih mereka “Hidup pak rambutan! Hidup rakyat!”
Saya tersedu, bu. Saya tersedu
Belum pernah seumur hidup
Orang berterima-kasih begitu jujurnya
Pada orang kecil seperti kita.

Doa

Tuhan kami 
Telah nista kami dalam dosa bersama 
Bertahun membangun kultus ini 
Dalam pikiran yang ganda 
Dan menutupi hati nurani

Ampunlah kami 
Ampunilah Amin

Tuhan kami 
Telah terlalu mudah kami 
Menggunakan asmaMu 
Bertahun di negeri ini 
Semoga Kau rela menerima kembali 
Kami dalam barisanMu

Ampuni kami 
Ampunilah Amin.

Kita adalah Pemilik Sah Republik Ini

Tidak ada pilihan lain. 
Kita harus 
Berjalan terus 
Karena berhenti atau mundur 
Berarti hancur

Apakah akan kita jual keyakinan kita 
Dalam pengabdian tanpa harga 
Akan maukah kita duduk satu meja 
Dengan para pembunuh tahun yang lalu 
Dalam setiap kalimat yang berakhiran “Duli Tuanku?”

Tidak ada lagi pilihan lain. 
Kita harus 
Berjalan terus 
Kita adalah manusia bermata sayu, yang di tepi jalan 
Mengacungkan tangan untuk oplet dan bus yang penuh 
Kita adalah berpuluh juta yang bertahun hidup sengsara
Dipukul banjir, gunung api, kutuk dan hama 
Dan bertanya-tanya inikah yang namanya merdeka 
Kita yang tidak punya kepentingan dengan seribu slogan 
Dan seribu pengeras suara yang hampa suara

Tidak ada lagi pilihan lain. 
Kita harus 
Berjalan terus.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar