Sebuah Jaket Berlumur Darah
Sebuah jaket berlumur darah
Kami semua telah menatapmu
Telah berbagi duka yang agung
Dalam kepedihan bertahun-tahun
Sebuah sungai membatasi kita
Di bawah terik matahari Jakarta
Antara kebebasan dan penindasan
Berlapis senjata dan sangkur baja
Akan mundurkah kita sekarang
Seraya mengucapkan ‘Selamat tinggal perjuangan’
Berikrar setia kepada tirani
Dan mengenakan baju kebesaran sang pelayan?
Spanduk kumal itu, ya spanduk itu
Kami semua telah menatapmu
Dan di atas bangunan-bangunan
Menunduk bendera setengah tiang
Pesan itu telah sampai kemana-mana
Kami semua telah menatapmu
Telah berbagi duka yang agung
Dalam kepedihan bertahun-tahun
Sebuah sungai membatasi kita
Di bawah terik matahari Jakarta
Antara kebebasan dan penindasan
Berlapis senjata dan sangkur baja
Akan mundurkah kita sekarang
Seraya mengucapkan ‘Selamat tinggal perjuangan’
Berikrar setia kepada tirani
Dan mengenakan baju kebesaran sang pelayan?
Spanduk kumal itu, ya spanduk itu
Kami semua telah menatapmu
Dan di atas bangunan-bangunan
Menunduk bendera setengah tiang
Pesan itu telah sampai kemana-mana
Melalui kendaraan yang melintas
Abang-abang beca, kuli-kuli pelabuhan
Teriakan-teriakan di atap bis kota , pawai-pawai perkasa
Prosesi jenazah ke pemakaman
Mereka berkata Semuanya berkata
LANJUTKAN PERJUANGAN!
Merdeka Utara
Dua buah panser Saladin
Dengan roda-roda berat
Rintangan-rintangan jalan
Selebihnya kesenyapan
Dua buah tikungan yang bisu
Dua buah tikungan yang bisu
Seseorang memegang bren
Langit pagi yang biru
Menjadi ungu, menjadi ungu.
Harmoni
Enam barikade telah dipasang
Pagi ini
Ketika itu langit pucat
Di atas Harmoni
Senjata dan baju-baju perang
Senjata dan baju-baju perang
Depan kawat berduri
Gelisah menanti
Bendera setengah tiang
Bendera setengah tiang
Di atas Gayatri Seorang ibu menengadah
Menyeka matanya yang basah.
Jalan Segara
Di sinilah penembakan
Kepengecutan Dilakukan
Ketika pawai bergerak
Ketika pawai bergerak
Dalam panas matahari
Dan pelor pembayar pajak
Dan pelor pembayar pajak
Negeri ini
Ditembuskan ke punggung
Ditembuskan ke punggung
Anak-anaknya sendiri.
Karangan Bunga
Tiga anak kecil
Dalam langkah malu-malu
Datang ke Salemba
Sore itu
‘Ini dari kami bertiga
‘Ini dari kami bertiga
Pita hitam pada karangan bunga
Sebab kami ikut berduka
Bagi kakak yang ditembak mati
Siang tadi.’
Salemba
Alma Mater, janganlah bersedih
Bila arakan ini bergerak
pelahan
Menuju pemakaman
Siang ini
Anakmu yang berani
Anakmu yang berani
Telah tersungkur ke bumi
Ketika melawan tirani.
Tableau Menjelang Malam
Deretan bangunan.
Abu-abu Langit hitam dan sten.
Menunggu
Lalu lintas sepi
Semua menanti
Jendela bertutupan.
Apa akan terjadi
Di sini
Semua menanti.
Dari Catatan Demonstran
Inilah peperangan
Tanpa jenderal, tanpa senapan
Pada
hari-hari yang mendung
Bahkan tanpa harapan
Di sinilah keberanian diuji
Di sinilah keberanian diuji
Kebenaran dicoba dihancurkan
Pada hari-hari
berkabung
Di depan menghadang ribuan lawan.
Ada
catatan-catatan kecil di atas meja
Dan yang mengantar banyak sekali
Ya. Mahasiswa-mahasiswa itu.
Anak-anak sekolah
Yang dulu berteriak: dua ratus, dua ratus!
Sampai bensin juga turun harganya
Sampai kita bisa naik bis pasar yang murah pula
Mereka kehausan dalam panas bukan main
Terbakar muka di atas truk terbuka
Saya lemparkan sepuluh ikat rambutan kita, bu
Biarlah sepuluh ikat juga
Memang sudah rezeki mereka
Mereka berteriak-teriak kegirangan dan berebutan
Seperti anak-anak kecil “Hidup tukang rambutan! Hidup tukang rambutan!”
Dan menyoraki saya. Betul bu, menyoraki saya
Dan ada yang turun dari truk, bu Mengejar dan menyalami saya “Hidup pak rambutan!” sorak mereka
Saya dipanggul dan diarak-arak sebentar
“Hidup pak rambutan!” sorak mereka “Terima kasih, pak, terima kasih! Bapak setuju kami, bukan?”
Saya mengangguk-angguk. Tak bisa bicara “Doakan perjuangan kami, pak,”
Mereka naik truk kembali
Masih meneriakkan terima kasih mereka “Hidup pak rambutan! Hidup rakyat!”
Saya tersedu, bu. Saya tersedu
Belum pernah seumur hidup
Orang berterima-kasih begitu jujurnya
Pada orang kecil seperti kita.
Percakapan Angkasa
“Siapa itu korban di bumi
Hari ini?”
Tanya Awan
Pada Angin
“Seorang anak muda
Dia amat berani,”
Jawab Angin
“Berembuslah kau, dan hentikan saya
Tepat di ataskota
ini.”
Awan dan Angin
Berhentilah siang hari
Di atas negeri ini
“Wahai, teramat panjangnya
Hari ini?”
Tanya Awan
Pada Angin
“Seorang anak muda
Dia amat berani,”
Jawab Angin
“Berembuslah kau, dan hentikan saya
Tepat di atas
Awan dan Angin
Berhentilah siang hari
Di atas negeri ini
“Wahai, teramat panjangnya
Arakan jenazah Di bawah!
Raja manakah kiranya
Yang wafat
itu?”
“Bukan raja,”
Jawab Angin
“Pangeran agaknya?”
“Pangeran bukan
Dia hanya kawula biasa
Seorang anak muda.”
“Tapi mengapa begitu banyak
“Bukan raja,”
Jawab Angin
“Pangeran agaknya?”
“Pangeran bukan
Dia hanya kawula biasa
Seorang anak muda.”
“Tapi mengapa begitu banyak
Orang berjajar di tepi jalan
Ibu-ibu membagikan
minuman
Di depan rumah-rumah mereka
Orang-orang melontarkan buah-buahan
Dalam
arak-arakan
Dan saya lihat pula
Mereka bertangisan
Di kuburan
Siapa dia
sebenarnya Wahai Sang Angin?”
“Dialah anak muda yang perkasa
“Dialah anak muda yang perkasa
Di antara kawan-kawannya
Yang terluka
Dia telah
mendahului menghadap Ilahi
Seluruh negeri ini
Mengibarkan bendera nestapa baginya
Menangisi kepergiannya
Dalam duka
Seluruh negeri ini
Seluruh negeri ini
Yang terlalu lama dizalimi
Telah belajar kembali
Untuk
menjadi berani
Dalam berbuat
Untuk menjadi berani
Menghadapi mati.”
Kata Sang Awan pula:“Sangat menarik sekali Kisahmu, ya Angin
Kata Sang Awan pula:“Sangat menarik sekali Kisahmu, ya Angin
Tapi sebelum kita
pergi
Mengembara ke bagian bumi yang lain
Katakan pada saya
Karena kau tahu banyak
Tentang negeri ini
Katakan pada saya
Untuk apa anak muda itu mati?”
Sang Angin tersenyum dan berkata:
“Untuk dua patah kata, dia
Rela mati
Dalam usia muda sekali.”
“Apa gerangan itu?”Tanya Sang Awan
“Menegakkan Kebenaran,”sahut Sang Angin“Dan Keadilan.”
Dan mereka berdua
Mulailah ngembara lagi
Sementara senja
Turun ke bumi
Karena kau tahu banyak
Tentang negeri ini
Katakan pada saya
Untuk apa anak muda itu mati?”
Sang Angin tersenyum dan berkata:
“Untuk dua patah kata, dia
Rela mati
Dalam usia muda sekali.”
“Apa gerangan itu?”Tanya Sang Awan
“Menegakkan Kebenaran,”sahut Sang Angin“Dan Keadilan.”
Dan mereka berdua
Mulailah ngembara lagi
Sementara senja
Turun ke bumi
Geometri
Dan titik ini
Sedang kita tarik garis lurus
Ke titik berikutnya
Segala komponen
Segala komponen
Telah jelas.
Dalam soal
Yang sederhana.
Aviasi
Sebuah heli melayang-layang
Pada siang yang panas
Di langit
ibu kota
Berjuta mata memandang
Berjuta mata memandang
Tengadah ke atas
Tak lagi bertanya-tanya
Setiap kita jumpa di jalan
Setiap kita jumpa di jalan
Sejak jam lima
tadi pagi
Tak ada yang bimbang lagi
Telah kita lumpuhkan urat nadi
Sepi dan
tegang di jalanan.
Mimbar
Dan mimbar ini telah dibicarakan
Pikiran-pikiran dunia
Suara-suara kebebasan
Tanpa ketakutan
Dan mimbar ini diputar lagi
Dan mimbar ini diputar lagi
Sejarah kemanusiaan
Pengembangan teknologi
Tanpa
ketakutan
Di kampus ini
Di kampus ini
Telah dipahatkan
Kemerdekaan
Segala despot dan tiran
Segala despot dan tiran
Tidak bisa merobohkan
Mimbar kami.
Arithmatik Sederhana
Menyimak Adham Arsyad
Selama ini kita selalu
Ragu-ragu
Dan berkata:
Dua tambah dua
Mudah-mudahan sama dengan empat.
Selama ini kita selalu
Ragu-ragu
Dan berkata:
Dua tambah dua
Mudah-mudahan sama dengan empat.
Depan Sekretariat Negara
Setelah korban diusung
Tergesa-gesa Ke luar jalanan
Kami semua menyanyi ‘Gugur Bunga’
Kami semua menyanyi ‘Gugur Bunga’
Perlahan-lahan
Perajurit ini
Perajurit ini
Membuka baretnya
Airmata tak tertahan
Di puncak Gayatri
Di puncak Gayatri
Menunduklah bendera
Di belakangnya segumpal awan.
22 Tahun Kemudian
Ya anakku.
Saya telah menuliskannya untukmu 22 tahun yang
lalu saya tuliskan ini untuk kalian Ayahmu, waktu itu, pada suatu musim hujan
Ketika itu tanpa kerja-tetap dan gelandangan
Di sebuah kamar yang pengap di
ibukota
Duduk dan mencoba mencatat sajak ini
Ayah harus menuliskan ini.
Ayah harus menuliskan ini.
Harus
Walaupun saya belum tahu, apakah saya
Kelak
akan mempunyai seorang Dayat
Dan seorang Ina yang bermata-jeli
Atau tidak punya
anak sama sekali
Tapi saya harus menuliskan ini.
Harus.
(Di luar jam malam telah jatuh
(Di luar jam malam telah jatuh
Derai-derai gerimis mulai meluruh
Di antara
deru patroli kota )
Apakah yang pertama harus dituliskan
Apakah yang pertama harus dituliskan
Bila begitu banyak yang tiada terucapkan?
Di atas meja, catatan-catatan kecil kawanku yang setia
Menggapai-gapai dalam
angin dari jendela
Dari tingkap, menjulur piramid dan tugu-tugu
Dari tingkap, menjulur piramid dan tugu-tugu
Kota slogan dan menara, kotamu
dulu
Tanah gunung-api dan hama, tanahmu dulu
Pedesaan yang malang, kuli-kuli
pelabuhan yang tersemu
Dalam pidato-pidato seribu jam dari seribu mimbar
Dalam
pawai-pawai genderang dan slogan berkibar-kibar
Bertuliskan sepatah kata:
Tirani Ya anakku. Tirani dengan t besar Kenistaan dengan panjinya tinggi 22
tahun yang lalu.
Sungguh tak terpikirkan
Bagi kalian saat ini Terbayangkan, apa
pula Nyeri perjuangan yang dinistakan
(Di luar jam malam telah jauh
(Di luar jam malam telah jauh
Saya lanjutkan catatan-catatan ini buat kalian
Ketika tetesan embun mulai jatuh
Tanpa suara, perlahan-lahan)
Berpikir ganda.
Berpikir ganda.
Apa yang diucapkan
Berlawan dengan suara hati
Rencana-rencana
besar, kemewahan dan perempuan
Dipersanjungkan dalam pesta-pesta ingkar insani
Pengejaran, penahanan tanpa pengadilan
Penindasan dan perang saudara
Berbunuh-bunuhan (Hadirin diminta berdiri, karena akan masuk ruangan:
Penjilat-penjilat dan pelayan-pelayan besar)
Keangkuhan disebar bagai api hutan
terbakar
Di atas tanah yang dibelah-belah dan diadu sesamanya!
(Arwah lelaki
itu tersenyum, Machiavelli namanya)
Berjuta-juta kami berdiri.
Lesu dan lunglai
Sehabis rapat besar dan pawai-pawai
Yang tidak memikirkan pemborosan dan wabah
penyakit
Tidak membicarakan harga-harga dan nestapa kemiskinan
Pemborosan?
Pemborosan?
Siapa peduli itu Harga? Harga apa? Apa harga diri kau?
Hafalkan
singkatan-singkatan ini.
Berteriaklah
Dengan dengki dan acungkan tangan
terkepal
Tengadahlah.
Pandang panji-panji ini “Hormati!”
Bertuliskan sepatah
kata: Tirani Ya anakku. Tirani dengan t besar
Bagi kalian saat ini, sungguh tak
terpikirkan
Tapi apa yang kau nikmati hari ini
Kebebasan.
Kebebasan dengan k
besar
Nikmatilah, nikmatilah.
Dan ia
Bukanlah jatuh dan awan gemawan
Tapi ia
lahir dari duka perjuangan
Ia lahir melalui cercaan nista
Melalui kertas-kertas
stensil dari tangan ke tangan
Melalui tembok-tembok kota yang sabar
Dilumuri
seribu kaleng cat
Rapat-rapat serta seribu isyarat
Di bawah ancaman laras
kekuasaan
Yang dibidikkan ke tengkukmu
Ia lahir dari teriakan-teriakan
mahasiswa
Dalam pawai-pawai perkasa
Sungguh tak terpikirkan
Bila kita tidak
bersama Tuhan
Bagi kalian sungguh tak terpikirkan kini
Juga bagi ayah (22 tahun
yang lalu), ketika
Menuliskan sajak ini
Di kamar yang sepi
Sendiri
(Di luar jam malam hampir berakhir
(Di luar jam malam hampir berakhir
Sementara ayah sudahi catatan-catatan ini
Ketika subuh dan fajar di langit mengalir
Dan harus berkemas untuk berjalan
lagi).
Seorang Tukang Rambutan pada Istrinya
“Tadi siang ada yang mati,Dan yang mengantar banyak sekali
Ya. Mahasiswa-mahasiswa itu.
Anak-anak sekolah
Yang dulu berteriak: dua ratus, dua ratus!
Sampai bensin juga turun harganya
Sampai kita bisa naik bis pasar yang murah pula
Mereka kehausan dalam panas bukan main
Terbakar muka di atas truk terbuka
Saya lemparkan sepuluh ikat rambutan kita, bu
Biarlah sepuluh ikat juga
Memang sudah rezeki mereka
Mereka berteriak-teriak kegirangan dan berebutan
Seperti anak-anak kecil “Hidup tukang rambutan! Hidup tukang rambutan!”
Dan menyoraki saya. Betul bu, menyoraki saya
Dan ada yang turun dari truk, bu Mengejar dan menyalami saya “Hidup pak rambutan!” sorak mereka
Saya dipanggul dan diarak-arak sebentar
“Hidup pak rambutan!” sorak mereka “Terima kasih, pak, terima kasih! Bapak setuju kami, bukan?”
Saya mengangguk-angguk. Tak bisa bicara “Doakan perjuangan kami, pak,”
Mereka naik truk kembali
Masih meneriakkan terima kasih mereka “Hidup pak rambutan! Hidup rakyat!”
Saya tersedu, bu. Saya tersedu
Belum pernah seumur hidup
Orang berterima-kasih begitu jujurnya
Pada orang kecil seperti kita.
Doa
Tuhan kami
Telah nista kami dalam dosa bersama
Bertahun
membangun kultus ini
Dalam pikiran yang ganda
Dan menutupi hati nurani
Ampunlah kami
Ampunlah kami
Ampunilah Amin
Tuhan kami
Tuhan kami
Telah terlalu mudah kami
Menggunakan asmaMu
Bertahun di negeri ini
Semoga Kau rela menerima kembali
Kami dalam barisanMu
Ampuni kami
Ampuni kami
Ampunilah Amin.
Kita adalah Pemilik Sah Republik Ini
Tidak ada pilihan lain.
Kita harus
Berjalan terus
Karena
berhenti atau mundur
Berarti hancur
Apakah akan kita jual keyakinan kita
Apakah akan kita jual keyakinan kita
Dalam pengabdian tanpa harga
Akan maukah
kita duduk satu meja
Dengan para pembunuh tahun yang lalu
Dalam setiap kalimat
yang berakhiran “Duli Tuanku?”
Tidak ada lagi pilihan lain.
Tidak ada lagi pilihan lain.
Kita harus
Berjalan terus
Kita adalah manusia
bermata sayu, yang di tepi jalan
Mengacungkan tangan untuk oplet dan bus yang
penuh
Kita adalah berpuluh juta yang bertahun hidup sengsara
Dipukul banjir,
gunung api, kutuk dan hama
Dan bertanya-tanya inikah yang namanya merdeka
Kita
yang tidak punya kepentingan dengan seribu slogan
Dan seribu pengeras suara
yang hampa suara
Tidak ada lagi pilihan lain.
Tidak ada lagi pilihan lain.
Kita harus
Berjalan terus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar